Sabtu, 03 April 2010

KETENTUAN VISUM

KETERANGAN AHLI / KETERANGAN VISUM ET REPERTUM

1. PENDAHULUAN.
Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh Ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter bukan Ahli Kedokteran Kehakiman, tentang seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana.
Keterangan ini dibuat dalam bentuk tulisan yang dahulu dikenal sebagai Visum et Repertum. Istilah Visum et Repertum ini dapat ditemukan dalam lembaran Negara tahun 1937 Nomor : 350 Pasal I yang terjemahannya :
Visa et Reperta pada Dokter yang dibuat baik atas sumpah Dokter yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di Negeri Belanda atau Indonesia, maupun atas sumpah khusus seperti tercantum dalam pasal 2, mempunyai daya bukti yang syah dalam perkara pidana selama visa et Reperta tersebut berisi keterangan mengenai hal hal yang diamati oleh Dokter itu pada benda-benda yang diperiksa.
Dengan berlakunya KUHAP maka Lembaran Negara tahun 1937 Nomor 350 ini seharusnya dicabut. Namun karena isi Lembaran Negara tersebut tidak bertentangan dengan KUHAP sedang istilah Visum et Repertum tidak ditemukan dalam KUHAP, maka Menteri Kehakiman dalam peraturan Nomor : M. 04.UM.01.06 tahun 1983 pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan Ilmu Kedokteran Kehakiman disebut Visum et Repertum.Oleh karena itu keterangan ahli/keterangan hasil pemeriksaan Ilmu Kedokteran Kehakiman seperti dimaksud KUHAP tidak lain adalah Visum et Repertum.

2. TATA CARA PERMINTAAN VISUM et REPERTUM
Seperti tercantum dalam KUHAP pasal 133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun tata cara permintaannya sabagai berikut :
a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh penyidik yang berwenang.
b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi :
1)
2)
3) Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurang berpangkat Pelda Polis
Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi
Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena Jabatannya adalah Penyidik
Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik.
c. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan :
1)
Korban Mati.
Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum et Repertum Jenazah.
Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak dengan diberi cap jabatan , diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.
Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang melakukan pemeriksaan TKP. Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi yang diperlukan Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara kematiannya.
2)
Korban Hidup.
Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et Repertum sementara tentang keadaan korban. Penilaian keadaan korban ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan.
Bila korban memerlukan / meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain, permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi.

Dalam perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal dunia.

Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan korban.

Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan.

Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya.

d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelangkapan data-data jalannya peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi selengkapnya, karena data-data itu dapat membantu Dokter mengarahkan pemeriksaan mayat yang sedang diperiksa.
Contoh :
1) Pada kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak.
Gambaran luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana posisi korban pada waktu terjadi kecelakaan.
2) Dalam kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal karena pembunuhan atau penganiayaan saja. sebutkan keterangan tentang jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku, senjata tajam, senjata api, racun.
Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata / alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban.
3) Pada kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan keterangan tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi serta perkiraan racun yang dipergunakan.) Bersama dengan korban perlu dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab
4) Pada kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan korban agar diisi slengkapnya. Apabila korban dirawat, sertakan salinan rekaman medis pada waktu perawatan

e. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau ahli lainnya.
Catatan :
Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang terdapat Fakultas Kedokteran nya
Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et Repertum ini ditujukan kepada Dokter.
Dalam pelaksanaannya maka sebaiknya :
1) Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek partikelir).
2) Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran, permintaan ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu :
Untuk korban hidup :

a) Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah
b) Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan

Untuk korban mati : bagian Kedokteran Kehakiman
3) Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada Dokter pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri. Bila hal ini tidak memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta
4) Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri, disertai surat permintaannya

f. Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban di TKP hal-hal lain yang diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan cara kematian korban.
g. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang korban seperti :
1) Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal.
2) Sejauh mana korban masih dapat berlari / jalan.
3) Apakah korban dipindah
4) Senjata/alat jenis apa yang melukai korban
5) Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka yang ada pada tubuh korban
6) Bagaimana caranya alat /senjata tersebut mengenai tubuh korban
7) Apakah ada tanda-tanda perlawanan.
8) Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah kematian.
9) Kapan kira-kira korban meninggal.
10) Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal.


3. TATA CARA PENCABUTAN VISUM et REPERTUM
a. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan, namun kadang kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk dilaksanakan beda mayat dengan alasan larangan Agama, adat dan lain-lain.
b. Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134 ayat 2, maka penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan bedah jenazah tersebut.
Disamping itu perlu pula dijelaskan bahwa bedah mayat Forensik :
1) Menurut Agama Islam hukumnya ?Mubah? Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat
Nomor 4 / 1955.
2) Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi penjelasan tentang ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : ?Barang siapa dengan sengaja mencegah menghalangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
3) Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka pelaksanaan pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan menggunakan formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh Pejabat, petugas yang berwenang dimana pangkatnya satu tingkat diatas peminta, serta terlebih dahulu membahasnya secara mendalam.
4) Dengan pencabutan permintaan Visum et Repertum maka penyidik harus menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang jelas dapat diharapkan lagi sebagai keterangan dari barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti yang berkaian erat dengan masalah penyidikan yang sedang ditangani.

PEMBONGKARAN KUBURAN

Pembokaran kuburan kadang-kadang diperlukan untuk tujuan tertentu sesuai dengan kepentingannya :
1. Untuk kepentingan peradilan (forensik)
2. Untuk kepentingan penguasa / pemerintah setempat misalnya pemindahan tempat pemakaman
sehubungan dengan pembangunan ditempat tersebut untuk keperluan/ pengembangan kota.
1. Penggalian / pembongkaran kuburan untuk Peradilan
Untuk kepentingan penyidikan Kepolisian kadang-kadang suatu kuburan perlu digali kembali untuk memeriksa dan membuat Visum et Repertum dari jenazah yang berapa waktu yang lalu telah dikubur.
Hal ini terjadi atas dasar laporan / pengaduan masyarakat agar Polisi dapat melakukan penyidikan atas kematian orang yang dikuburkan tadi, karena diduga kematian tersebut tidak wajar dan menimbulkan kecurigaan.
Kadang-kadang korban suatu pembunuhan atau tindak kejahatan lain dimana korban ditanam / dikubur disuatu tempat. Atau suatu kematian yang pada waktu itu dianggap / dibuat seolah-olah kematian wajar sehingga pada waktu itu tidak dimintakan Visum et Repertum ternyata beberapa waktu kemudian diketahui bahwa kematian itu tidak wajar.

2. Pedoman
Bila mayat baru beberapa hari di kuburkan maka penggalian kuburan harus segera dilakukan, tidak boleh ditunda-tunda. Tetapi bila telah beberapa bulan dikuburkan maka penundaan beberapa hari tidak menjadi masalah yang penting segala persiapan harus rapi dan lengkap.
Untuk pelaksanaan pembongkaran kuburan perlu persiapan-persiapan dan syarat kelengkapan serta sarana-sarana tertentu serta pengadaan sarana untuk pelaksanan penggalian.
Adapun persiapan-persiapan yang perlu adalah sebagai berikut :
a. Surat persetujuan dari keluarga yang meninggal yang menyatakan tidak berkeberatan bahwa makam / kuburan tersebut dibongkar.
b. Surat pernyataan dari keluarga, juru kubur, petugas pemerintah setempat / saksi-saksi lain yang menyatakan bahwa kuburan tersebut memang kuburan dari orang yang meninggal yang dimaksudkan.
c. Surat penyitaan dari kuburan yang akan digali sebagai barang bukti yang dikuasai oleh penyidik (Kepolisian) untuk sementara.
d. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter pemerintah, Dokter Polri / Dokter setempat untuk pemeriksaan mayat Cq. penggalian kuburan.
e. Berita acara pembongkaran kuburan harus dibuat secara kronologis serta sesuai metode kriminalistik yang membuat semua kejadian-kejadian sejak pertama kali kuburan itu dibongkar.

Contoh :
1) Jam berapa dimulai pemeriksaan kuburan (dari luar)
2) Tanda-tanda yang ada dicatat, misalnya nisan dibuat dari apa, berapa tingginya dan bagaimana bentuknya.
3) Identitas, nama, tanggal kematian dan sebagainya.
4) Keadaan cuaca, mendung, panas dan sebagainya.
5) Setiap mencapai kedalaman tertentu harus dicatat diukur dengan mistar dan difoto.
6) Misalnya jam 09.30 mencapai kedalaman 1 meter.
7) Keadaan tanah, komposisi tanah, pasir, tanah liat warna merah/coklat dan sebagainya.
8) Pada jam berapa mencapai papan penutup liang lahat / peti mati mayat dan sebagainya dan pada kedalaman berapa meter jangan lupa selalu dibuat fotonya.
9) Jam berapa peti mayat/papan penutup diangkat, atau bila tidak ada peti, jenazah diangkat dari liang lahat.
10) Bagaiamana keadaan jenazah, posisi mayat keadaan kain kafan dan lain-lain.
11) Saat Dokter mulai mengadakan pemeriksaan (otopsi) sampai selesai.

f. Berita acara pemakaman kembali.
g. Berita acara penyerahan kembali kuburan kepada keluarga.
h. Peralatan dan sarana lain yang diperlukan.

1) Sebelum penggalian, sekitar kuburan harus ditutup dengan tabir (dari bahan apa saja ) asalkan dapat menutupi kuburan sehingga tidak menjadi tontonan umum.
2) Apabila otopsi akan dikerjakan dikuburan maka selain tabir perlu penutup untuk Dokter dan petugas lain yang melakukan pemeriksaan mayat. Jangan sampai lupa menyediakan meja untuk otopsi.
3) Air sangat perlu disediakan untuk keperluan Dokter selama otopsi.
4) Seandainya otopsi akan dilakukan di Rumah Sakit maka mayat / peti mayat sebagai barang bukti harus dibungkus, disegel dan sebagainya sebelum dikirim ke Rumah Sakit dan harus disertai dengan Berita Acara dan sebagainya.
5) Untuk mengukur dapat disediakan mistar kayu 1 mater atau meteran dari pita logam - 2 -5 meter.
6) Peralatan fotografi dilengkapi flash unit dengan film hitam putih oleh petugas Polri sendiri. Tidak diperkenankan wartawan / wartawan foto berada dilokasi penggalian.

2. Penggalian kuburan non forensik / bukan untuk pengadilan

a) Biasanya dilakukan untuk keperluan-keperluan kota, pembangunan gedung-gedung dan sebagainya atas perintah dari penguasa pemerintah setempat.
Untuk pelaksanaan biasanya ada petunjuk pelaksanaan yang diatur oleh pemerintah setempat bekerja sama dengan keluarga. Oleh karena itu sifatnya lebih sederhana dan tidak perlu ikut sertanya Polri dalam pelaksanaan tersebut. Mungkin masih diperlukan peran serta Polri dari segi pengamanan pelaksanaan sehingga hanya untuk mencegah seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
b) Kadang-kadang atas kemauan keluarga sendiri untuk menindahkan kuburan seseorang ke kuburan lain atau ke kota lain. Untuk tujuan ini sudah ada tata cara tertentu dan biasanya tidak menjadi urusan Kepolisian.
PASAL KUHP YANG BERKAITAN DENGAN VISUM et REPERTUM
Pasal 90 KUHP
f. Luka berat berarti :
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya mati.
2) Tidak mampu untuk terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.
3) Kehilangan salah satu panca indera.
4) Mendapat cacat berat.
5) Menderita sakit lumpuh.
6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Pasal 351 KUHP
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan dimaksud sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 352 KUHP
Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan atau terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 353 KUHP
(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(1) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang berarti dekenakan pidana penjara pailing lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 354 KUHP
(1) Barang siapa melakukan penganiayaan kepada orang dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 341 KUHP
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada anak yang dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja mematikan anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 342 KUHP
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena akan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Pasal 285 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena memperkosa, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 286 KUHP
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan hal itu diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 287 KUHP
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas,
bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Pasal 288 KUHP

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas ahun.

Pasal 289 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 44 KHUP

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Pasal 222 KHUP
Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Jakarta, Mei 2000

PENYUSUN
Drs. MULYO HADI, SH
KOLONEL POLISI NRP. 47050178

VISUM ET REPERTUM / VER

PENDAHULUAN

Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses persidangan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum.
Oleh karena pembuktian merupakan bagian dari proses peradilan pidana, maka tata cara pembuktian tersebut terikat pada Hukum Acara Pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.
Dalam pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 dinyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”.
Dari bunyi pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 kiranya dapat dipahami bahwa pemidanaan baru boleh dijatuhkan oleh hakim apabila:
1. Terdapat sedikitnya dua alat bukti yang sah
2. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah terjadinya perbuatan pidana
3. Dan perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa
Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat 1, Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 adalah:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Keterangan terdakwa

PENGERTIAN

Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.
Meskipun tidak ada keseragaman format, namun pada umumnya Visum et Repertum memuat hal-hal sebagai berikut:
Visum et Repertum terbagi dalam 5 bagian:
1. Pembukaan:
 Kata “Pro justisia” untuk peradilan
 Tidak dikenakan materai
 Kerahasiaan
2. Pendahuluan: berisi landasan operasional ialah obyektif administrasi:
 Identitas penyidik (peminta Visum et Repertum, minimal berpangkat LETDA)
 Identitas korban yang diperiksa, kasus dan barang bukti
 Identitas TKP dan saat/sifat peristiwa
 Identitas pemeriksa (Tim Kedokteran Forensik)
 Identitas saat/waktu dan tempat pemeriksaan
3. Pelaporan/inti isi:
 Dasarnya obyektif medis (tanpa disertai pendapat pemeriksa)
 Semua pemeriksaan medis segala sesuatu/setiap bentuk kelainan yang terlihat dan diketahui langsung ditulis apa adanya (A-Z)
4. Kesimpulan: landasannya subyektif medis (memuat pendapat pemeriksa sesuai dengan pengetahuannya) dan hasil pemeriksaan medis (poin 3)
 Ilmu kedokteran forensik
 Tanggung jawab medis
5. Penutup: landasannya Undang-Undang/Peraturan yaitu UU no.8 tahun 1981 dan LN no.350 tahun 1937 serta Sumpah Jabatan/Dokter yang berisi kesungguhan dan kejujuran tentang apa yang diuraikan pemeriksa dalam Visum et Repertum tersebut.


Dalam operasional penyidikan, dapat dilaporkan berbagai penemuan dalam pemeriksaan barang bukti/kasus, diungkapkan dalam:
 Visum et Repertum sementara, atau
 Visum et Repertum sambungan/lanjutan, atau
 Surat keterangan medis

PSIKOLOGI FORENSIK

The committee on ethical Guidelines for Forensik Psychology mendefinisikan psikologi forensik sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum. Luasnya bidang psikologi forensik dan penggunaan istilah yang beragam membuat seringkali masyarakat menjadi bingung akan tugas psikolog forensik serta istilah yang paling tepat digunakan. Ada yang menggunakan istilah psychology and criminology, psychology of court room, investigative psychology. Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di Indonesia juga menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR).
Psikologi forensik : ilmuWan dan pRaktisi
Individu yang berkecimpung pada psikologi forensik dapat dibedakan menjadi :
1. Ilmuwan psikologi forensik. Tugasnya melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia dalam proses hukum.
2. Praktisi psikolog forensik. Tugasnya memberikan bantuan profesional berkaitan dengan permasalahan hukum.
Berikut akan dipaparkan praktisi psikolog forensik, karena asosiasi psikologi forensik akan lebih banyak bergerak di praktisi, walau tidak melupakan pengembangan keilmuannya.
Praktisi Psikolog Forensik
Psikolog forensik adalah psikolog yang mengaplikasikan ilmunya untuk membantu penyelesaian masalah hukum. Di Indonesia, profesi psikolog forensik masih kurang dikenal, baik di kalangan psikolog maupun di kalangan aparat hukum
Tugas psikolog forensik pada proses peradilan pidana adalah membantu pada saat pemeriksaan di kepolisian, di kejaksaan, di pengadilan maupun ketika terpidana berada di lembaga pemasyarakatan. Gerak psikolog dalam peradilan terbatas dibanding dengan ahli hukum. Psikolog dapat masuk dalam peradilan sebagai saksi ahli (UU RI nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP). Oleh karena itu diperlukan promosi kepada bidang hukum akan pentingnya psikologi dalam permasalahan hukum, sehingga dalam kasus-kasus pidana, ahli hukum mengundang psikologi. Tanpa undangan aparat hukum, maka psikologi akan tetap berada di luar sistem dan kebanyakan menjadi ilmuwan, dan bukan sebagai praktisi psikolog forensik.
Inti kompetensi psikolog adalah asesmen, intervensi, dan prevensi. Yang membedakan psikolog forensik dengan psikolog lainnya adalah konteks tempat ia bekerja. Psikolog forensik menerapkan kompetensi asesmen, intervensi, dan prevensinya dalam konteks permasalahan hukum.
Tugas psikolog forensik
Berikut akan dipaparkan beberapa tugas psikolog forensik di setiap tahap proses peradilan pidana.
Kepolisian
Pada pelaku.
Interogasi bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya. Teknik lama yang digunakan polisi adalah dengan melakukan kekerasan fisik, teknik ini banyak mendapatkan kecaman karena orang yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan akan kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interogasi dengan menggunakan teori psikologi dapat digunakan misalnya dengan teknik maksimalisasi dan minimalisasi (Kassin & McNall dalam Constanzo, 2006). Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi tentang teknik interogasi yang menggunakan prinsip psikologi.
Criminal profiling dapat disusun dengan bantuan teori psikologi. Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak pelaku dengan menyusun profil kriminal pelaku. Misal pada kasus teroris dapat disusun criminal profile dari teroris, yang berguna dalam langkah penyidikan di kepolisian maupun masukan bagi hakim (misalnya apakah tepat teroris dihukum mati atau hanya seumur hidup).
Psikolog forensik juga dapat membantu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku.
Pada Korban. Beberapa kasus dengan trauma yang berat menolak untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Psikolog forensik dapat membantu polisi dalam melakukan penggalian informasi terhadap korban, misal pada anak-anak atau wanita korban kekerasan dibutuhkan keterampilan agar korban merasa nyaman dan terbuka. Penggalian korban perkosaan pada anak yang masih sangat belia dapat digunakan alat bantu boneka (Probowati, 2005).
Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi. Pada kasus di Malang ketika seorang ibu yang membunuh 4 anaknya dan ia bunuh diri. Seorang psikolog dapat menyusun otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi adalah merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup almarhum. Otopsi psikologi akan membantu polisi dalam menyimpulkan kemungkinan korban dibunuh atau bunuh diri.
Pada saksi. Proses peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi trehadap saksi, karena baik polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian menemukan hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90 % terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias. Diperlukan teknik investigasi saksi yang tepat a.l: teknik hipnosis dan wawancara kognitif.
Teknik hipnosis digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti atau pada Saksi/korban yang emosional (malu, marah) dan menghilangkan memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya kembali.
Wawancara kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses retrieval yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan pelatihan teknik investigasi saksi pada polisi.
Pengadilan
Peran psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan, dapat sebagai saksi ahli, bagi korban (misal kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anakseperti perkosaan,dan penculikan anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis (misal Mental retarded, pedophilia, dan psikopat).
Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan terkait dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan ditampilkan terdakwa agar ia tidak mendapat hukuman yang berat.
Lembaga Pemasyarakatan
Psikolog sangat dibutuhkan di Lapas. Banyak kasus psikologi yang terjadi pada narapidana maupun petugas lapas. Misal pada kasus percobaan bunuh diri narapidana tidak tertangani secara baik karena tidak setiap lapas memiliki psikolog. Pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka seringkali memberikan hukuman dengan tujuan dapat mengurangi perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi, berbohong). Psikolog forensik dibutuhkan dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana.
Guna dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu menguasai pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibanding psikolog umum. Misalnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen yang khusus pada individu pelaku kriminal. Dalam penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif. Pada penanganan pelaku/korban/saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan. Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa dibutuhkan kemampuan psikologi sosial. Pada saat ini, banyak psikolog yang sudah terlibat sebagai psikolog forensik, namun tidak adanya standar yang jelas membuat psikolog yang terjun di kegiatan forensik menjalankan sesuai dengan pertimbangannya masing-masing. Hal ini berdampak pada penilaian pelaku hukum dan masyarakat yang menjadi bingung dan tidak memahami kinerja psikolog forensik yang beragam. Untuk itulah dibutuhkan suatu asosiasi yang menjadi perekat bagi psikolog yang berminat pada psikologi forensik. HIMPSI sudah membuat asosiasi itu yaitu APSIFOR (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia)