Selasa, 11 Agustus 2009

TIPS MENGGUNAKAN LAYANAN SAMSAT

TIPS MENGGUNAKAN LAYANAN SAMSAT

Untuk melakukan berbagai proses dengan nyaman dan lancar, berikut beberapa tips yang dapat Anda jadikan pegangan.

  1. Tips melakukan proses pengesahan dan perpanjangan:
  2. Datanglah ke Samsat lebih awal pada pagi hari sekitar pukul 08.00
  3. Pastikan Anda telah membawa kelengkapan administrasi yang diperlukan (identitas asli/ KTP, STNK dan SKPD yang lama dan BPKB asli)
  4. Setibanya di Samsat, datangi petugas recepcionist untuk informasi yang lebih jelas. Jangan percaya kepada orang tidak dikenal yang menjanjikan pengurusan lebih cepat.
  5. Ikuti prosedur sesuai petunjuk petugas/ papan informasi sejak pendaftaran, pengambilan dan pengisian formulir, pembayaran di kasir hingga penyerahan STNK, SKPD dan TNKB.
  6. Perhatikan nomor antrian agar Anda nyaman untuk melakukan aktivitas lain selama menunggu proses pelayanan.
  7. Pastikan periksa kembali STNK dan SKPD yang Anda terima sudah benar sebelum pulang.

Tips melakukan Cek Fisik (Penelitian Nomor Rangka dan Nomor Mesin Kendaraan Bermotor) :

  1. Pastikan bahwa Anda melengkapi semua kelengkapan administrasi sesuai proses layanan yang dikehendaki (mutasi, balik nama, rubah alamat, rubah bentuk, ganti warna, ganti no pol dan STNK/ BPKB hilang)
  2. Bila Anda belum memahami, tanyakanlah pada petugas recepsionist di loket informasi.
  3. Daftarkan diri Anda di loket cek fisik (Loket 8) beserta kendaraan yang akan di cek fisik.
  4. Letakkan kendaraan di area cek fisik dan serahkan kepada petugas
  5. Perhatikan dan bantu petugas dalam melakukan cek fisik kendaraan Anda
  6. Setelah dilakukan cek fisik, kembalikan kendaraan ke area parkir yang disediakan
  7. Tunggu penyerahan berkas hasil cek fisik di ruang tunggu yang telah disediakan
  8. Perhatikan nomor antrian agar Anda nyaman untuk melakukan aktivitas lain selama menunggu proses pelayanan.

Tips melakukan proses mutasi dan BBN II:

  1. Pastikan bahwa Anda melengkapi semua kelengkapan administrasi sesuai proses layanan yang dikehendaki (mutasi : antar Samsatatau antar Polda, BBN II : balik nama, rubah alamat, rubah bentuk, ganti warna dan ganti no pol) sesuai informasi petugas atau papan informasi.
  2. Daftarkan berkas pada loket mutasi atau BBN II
  3. Perhatikan nomor antrian agar Anda nyaman untuk melakukan aktivitas lain selama menunggu proses pelayanan
  4. Pastikan periksa kembali berkas yang Anda terima sudah benar sebelum pulang.

Standar Waktu Pelayanan Maksimal

PROSES
STANDAR WAKTU MAKSIMAL
BBN I 7 Jam Kerja
BBN II 3 Jam Kerja
DAFTAR ULANG
PENGESAHAN 1 TAHUN 45 Menit
PERPANJANGAN 5 TAHUN 90 Menit
CEK FISIK 30 Menit
STNK HILANG 1 Jam Kerja
CETAK TNKB 20 Menit
MUTASI 4 Hari

Jumat, 07 Agustus 2009

PETUNJUK DALAM MENYIAPKAN PROPOSAL RISET

Petunjuk Dalam Menyiapkan proposal Riset
Agust07th, 2009 by Adimas

BEBERAPA PETUNJUK DALAM MENYIAPKAN PROPOSAL RISET

Sebuah proposal riset sering dibatasi hanya 3 sampai 5 halaman, yang memuat tentang review literature yang jelas terkait topic yang dibahas, identifikasi keterbatasan dari pengetahuan yang ada, metode, dan penggunaan terminology standar penelitian untuk menggambarkan proses riset dan identifikasi bagaimana data yang ada dikembangkan menjadi pengetahuan dan atau praktek keperawatan yang holistic.

Berikut ini beberapa petunjuk dalam penulisan proposal riset yang dibagi menjadi 2 bagian: Bagian Pertama membahas tentang riset kuantitatif, bagian kedua membahas tentang riset kualitatif.
Bagian Pertama: Unsur –Unsur dari proposal Riset Kuantitatif

• Judul dan pendahuluan

Gunakan judul yang mengindikasikan focus riset yang akan dilakukan. Pendahuluan yang jelas ( mungkin hanya satu paragraph ) yang berisikan tujuan riset yang diusulkan dan mengapa proposal terswebut dibutuhkan untuk pengembangan praktek keperawatan yang holistic.

• Ulasan Literatur

Berisi ulasan yang jelas terkait topic riset yang akan dilakukan. Biasanya berisi latar belakang dan signifikannya masalah tersebut untuk dipelajari, Kajian litertaur tidak perlu terlalu lengkap (yang lengkap nanti pada hasil penelitian) namun cukup untuk mendemonstrasikan apa yang anda tahu tentang topic dan issue disekitar topic tersebut

• Pernyataan tujuan dan pertanyaan/Hipotesis riset
Tulislah alasan mengapa riset ini dilakukan dan pertanyaan.hipotesis untuk proposal riset tersebut.

• Metode Riset.

Tulis desain yang akan digunakan dalam proposal riset (misal pre/post test, desain kuasi-eksperimen dengan percobaan dan group kontrol atau survey deskriptif tentang populasi). Metode yang digunakan harus consistent dengan pertanyaan riset yang dibuat. Misal anda ingin mengetahui sejauhmana efektifitas dari terapi modalitas untuk menurunkan nyeri, jika anda merencanakan desain kuasi eksperimental, hal tersebut kurang tepat bila melihat hubungan antar variable sebaiknya anda menggunakan desain korelasi.

• Kerangka Konsep

Gunakan kerangka konsep yang jelas terkait dengan subjek yang akan diteliti dan yakinkan adanya hubungan antara konsep atau variable dalam penelitian. Jika studi dan desain yang digunakan untuk menguji teori yag telah dipublikasikan (Misal Health Promotion Model oleh Pender) maka kerangka konsep yang digunakan seyogyanya merujuk pada kerangka teori yang sama.

• Variabel-Variabel Riset

Uraikan variable-variabel yang ada dalam riset dan berikan defenisi konseptual dan operasionalnya. Jelaskan pula mengapa nada percaya bahwa tool (kuisener) yang anda gunakan dalam penelitian valid dan reliable.

• Sample Penelitian

Defenisikan criteria inklusif dan ekslusif untuk sampel yang akan anda ambil. Uraikan dengan jelas bagaimana cara anda mengambil sampel, tehnik pengumpulan data (random, dll) dan cara menentukan jumlah sampel.

• Institusional Review Board (IRB)

Catat jika proposal telah disetujui oleh institusi. Jika tidak diskusikan bagaimana anda akan memperoleh persetujuan. Ungkapkan keuntungan dan kerugian dari rise yang akan anda lakukan dan bagaimana cara anda untuk melindungi kerahasian responden.

• Pengumpulan Data

Jelaskan dengan tepat data yang akan anda kumpulkan, bagaimana data tersebut akan dikumpulkan, siapa yang melakukan pengumpulan data, dan bagaimana cara menganalisis data tersebut. Jelaskan test statistic yang digunkan dan kemungkinan tes statistic untuk menguji tingkat signifikannya. Harus ada konsistensi antara pertanyaan-pertanyaan riset dan test statistic yang digunakan agar dapt menjawab pertanyaan-pertanyaan riset.

• Kesimpulan

Buatlah argument yang koheren yang menjelaskan riset yang anda lakukan membantu untuk membangun pengetahuan dan menjawab pertanyaan penting. Jelaskan Bagaimana data yang anda peroleh dapat memberikan informasi yang sangat penting untuk kemajuan dunia keperawatan.

Enam masalah yang umum terjadi pada Riset Kuantitatif adalah:
1. Tidak adanya konsistensi antara pertanyaan riset dengan desain riset
2. Lemahnya kerangka kerja akonsep, gambaran sample dan deskripsi yang terbatas tentang criteria inclusive/eksklusif
3. Tidak ada informasi tentang sample studi yang adekuat
4. Penggunaan instrument tidak kongruen dengan kerangka konsep dan tidak memiliki validitas dan reliabilitas dari kejadian
5. Kurangnya deskripsi tentang proposal riset
6. Analisis statistic yang lemah atau penggunaan statistic tidak consistent dengan tujuan penelitian

Bagian Kedua: Unsur dari Proposal Riset Kualitatif
1. Judul dan Pendahuluan.
Gunakan judul yang menunjukkan focus dari proposal riset. Pendahuluan sebaiknya ringkas (satu paragaf) terkait dengan topic riset anda dan mengapa topic anda penting bagi keperawatan.

2. Ulasan Literatur
Susun ringkasan yang jelas tentang apa yang anda ketahui dan riset-riset yang sejenis sebagai landasan anda mengapa riset yang akan anda lakukan ini penting dan dibutuhkan (_banyak desain riset kulitatif yang tidak memerlukan ulasan literature secara mendalam untuk memulai studinya-) dan ungkapkan kemampuan dan keahlian anda tentang topic tersebut serta metode riset kualitatif yang spesifik yang akan anda gunakan.

3. Framework yang peka
Kurangnya kerangka konsep teori, khususnya filosofi atau body of literature yang peka sebagai referensi tambahan dalam melakukan riset di area ini seperti (interaksi simbolis, fenomenology, hermeneutic, sensitivitas cultural)

4. Tujuan dan Pertanyaan Riset
Uraikan dengan jelas mengapa riset ini penting dilakukan dan bagaiman pertanyaan-pertanyaan riset dapat dijawab dengan investigasi yang akan anda lakukan.

5. Metode Riset
Identifikasi metode kualitatif standard -fenomenology, grounded theory, ethnography, atau metode historis- yang akan digunakan.

6. Proses Riset
Gambarkan secara detail bagaimana anda akan mengarahkan riset yang akan dilakukan. Bagaimana partisipan diidentifikasi dan direkrut? Bagaimana data dikumpulkan (interview, observasi partisipan, dsb)?, Bagaimana data dicatat (tape recording, field notes dsb)? Indikator yang digunakan untuk mengetahui bahwa data yang anda kumpulkan sudah cukup?

7. IRB
Tulis jika proposal anda telah disetujui. Jika tidak diskusikan bagaimana anda akan memperoleh persetujuan. Ungkapkan keuntungan dan kerugian dari riset yang akan anda lakukan dan bagaimana cara anda untuk melindungi kerahasiaan responden

8. Analisis Data
Jelaskan metode analisis data yang direncanakan dan bagaimana data yang dikumpulkan di transcribe kan, di review, di katagorikan dan di ringkaskan.
Catat: Bahwa semakin detail yang anda sajikan semakin mudah bagi penguji proposal anda untuk memahami nilai-nilai yang ada di proposal riset.

9. Kesimpulan
Jelaskan bagaimana data memberikan informasi yang penting terhadap asuhan keperawatan yang holistic dan buat argument yang koheren bahwa studi anda membantu untuk kemajuan keperawatan.

Empat masalah yang umum terjadi dan harus dihindari dalam proposal Riset Kualitatif:

1. Kurang kongruen antara pertanyaan penelitian dan metode yang dipilih
2. Tidak ada identifikasi metode riset yang menggunakan standar terminology riset
3. Tidak detail pada analisis data
4. Kurangnya statement pada isu-isu umum

Referensi:
Stuerbert, H.J and Carpenter, D.R (2003). Qualitative research in nursing: advancing the humanistic imperative (third edition) Lippincolt: Philadelphia
Oleh : Adi Wijaya, S.Kp.,Ns.,M.Kes
Penulis adalah Dosen Tetap di PSIK STIKes Husada Jombang.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Peraturan Kapolri ( PERKAP ) No.1 Tahun 2009

Polisi sebagai aparat yang utamanya bertanggung jawab di bidang keamanan dan ketertiban dalam pelaksanaan tugasnya akan selalu dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berubah-ubah sejalan dengan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebagai aparat negara pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, maka Polisi harus selalu bisa memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Berbagai macam program dan petunjuk teknis ( Juknis ) pun telah dikeluarkan oleh POLRI dengan tujuan untuk membentuk sosok POLRI yang humanis, berwibawa dan profesioanal.Untuk itu dalam penanganan unjuk rasa, Polri sudah menggunakan istilah baru, bukan lagi dinamakan penanganan unjuk rasa tetapi menjadi “pelayanan unjuk rasa”.

POLRI sangat menyadari akan posisinya di masyarakat, dibenci sekaligus dirindu. Oleh karena itu, tolak ukur keberhasilan POLRI sebenarnya sangat mudah, yaitu kepuasan masyarakat . POLRI harus mampu memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat walaupun tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak namun kami akan berusaha memberikan yang terbaik. Untuk itu, semua kembali kepada masyarakat untuk memberikan penilaian kepada POLRI, apakah tekad dan niat untuk berubah sudah menjadi kenyataan atau masih sebatas jargon saja.

Ketika terjadi bentrokan antara massa dan petugas POLRI dalam berbagai kejadian unjuk rasa ataupun peristiwa “chaos” lainnya, seringkali menimbulkan banyak korban baik dari pihak massa, masyarakat atau bahkan petugas itu sendiri. Namun bila kita melihat pemberitaan di media televisi atau surat kabar, yang sering jadi topik hangat adalah ketika anggota POLRI tengah melakukan tindakan kekerasan. Sebaliknya, ketika petugas yang menjadi korban, sering kali luput dari perhatian dan malahan sering terabaikan. Apabila Polisi yang menjadi korban, lantas kurang mempunyai nilai pemberitaan yang tinggi?

Bagi korban di pihak massa sudah pasti berlaku Hak Asasi Manusia, namun bagaimana dengan Polisinya, apakah ia tidak mempunyai HAM juga atau semacam HAP (Hak Asasi Polisi) karena pada saat menjalankan tugas, hakekatnya ia bertindak atas nama hukum. Terlepas dari itu semua, terhadap anggota yang melakukan pelanggaran, pasti ditindak tegas. Pimpinan POLRI juga sangat menyadari bahwa dalam rangka meningkatkan moril serta semangat tugas bagi personilnya perlu juga diberikan suatu aturan untuk melindungi petugas ketika ia tengah melaksanakan pekerjaannya.

Dalam rangka menegakkan hukum dan menciptakan keamanan dan ketertiban, maka POLRI kadang kala harus menggunakan suatu tindakan yang dinamakan Tindakan Kepolisian. Agar tindakan ini terukur, mempunyai standar dan dapat dipertanggungjawabkan, maka selanjutnya POLRI mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Peraturan Kapolri ini selanjutnya kita singkat dengan Perkap sudah diundangkan dalam Lembaran Negara dan disahkan oleh Menkumdang dan dapat diakses oleh siapa saja sehingga dengan keterbukaan ini diharapkan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian ini dapat diketahui secara umum sehingga membantu POLRI dalam mengawasi pelaksanaan tugas anggotanya serta ke dalam POLRI juga akan berhati-hati dalam bertindak menggunakan kekuatannya. Kesalahan prosedur akan berarti hukuman, dan juga sebaliknya, apabila tindakan kekerasan terjadi namun dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan Perkap ini, maka personil tersebut akan mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum.

Perkap ini terdiri dari 7 Bab dan 17 pasal dan ditandatangani oleh Kapolri pada tanggal 13 Januari 2009. Adapun tujuan Perkap ini dibuat adalah untuk memberikan pedoman bagi anggota POLRI dalam pelaksanaan tindakan kepolisian yang memerlukan penggunaan kekuatan sehingga terhindar dari tindakan yang berlebihan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Beberapa hal yang perlu kita ketahui dalam Perkap ini adalah:

A. Enam Prinsip Penggunaan Kekuatan, yaitu:

  1. Legalitas (harus sesuai hukum)
  2. Nessesitas ( penggunaan kekuatan memang perlu diambil)
  3. Proporsionalitas (dilaksanakan seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tindakan POLRI)
  4. Kewajiban Umum (Petugas bertindak dengan penilaiaannya sendiri berdasarkan situasi & kondisi yang bertujuan menciptakan kamtibmas)
  5. Preventif (mengutamakan pencegahan)
  6. Masuk akal (tindakan diambil dengan alasan yang logis berdasarkan ancaman yang dihadapi)

B. Enam Tahapan Penggunaan Kekuatan:

  1. Kekuatan yang memiliki dampak deteren (berupa kehadiran aparat POLRI atau kendaran dengan atribut POLRI atau lencana)
  2. Perintah lisan (ada komunikasi atau perintah, contoh : “POLISI, jangan bergerak!”)
  3. Kendali tangan kosong lunak (dengan gerakan membimbing atau kuncian tangan yang kecil timbulkan cedera fisik)
  4. Kendali tangan kosong keras (ada kemungkinan timbulkan cedera, contoh dengan bantingan atau tendangan yang melumpuhkan)
  5. Kendali senjata tumpul (Sesuai dengan perlawanan tersangka, berpotensi luka ringan, contoh dengan menggunakan gas air mata dan tongkat polisi)
  6. Kendali dengan menggunakan senjata api (tindakan terakhir dengan pertimbangan membahayakan korban, masayarakat dan petugas)

C. Enam tingkat perlawanan tersangka atau massa:

  1. Perlawanan tingkat 1 (contoh diam ditempat dengan duduk ditengah jalan)
  2. Perlawanan tingkat 2 (berupa ketidak patuhan lisan dengan tidak mengindahkan himbauan polisi)
  3. Perlawanan tingkat 3 (perlawanan pasif dengan tidur di jalan dan diam saja walau duperintahkan bergeser hingga harus diangkat petugas)
  4. Perlawanan tingkat 4 (bertindak defensif dengan menarik, mengelak atau mendorong)
  5. Perlawanan tingkat 5 (bertindak agresif dengan memukul atau menyerang korban, petugas atau masyarakat lain)
  6. Perlawanan tingkat 6 (bertindak dengan ancaman yang dapat sebabkan luka parah atau kematian bagi korban, petugas dan masyarakat)

Dengan mengacu pada prinsip dan level-level tindakan dan perlawanan di atas, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa POLRI dalam melaksanakan tugasnya berupa penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian harus mempedomani 6 prinsip tadi, menggunakan kekuatan sesuai dengan level ancaman yang dihadapi. Dan apabila tindakan yang lebih lunak sudah tidak efektif lagi, maka penggunaan senjata api merupakan opsi terakhir karena dalam kondisi demikian keselamatan korban, petugas dan masyarakat lain sudah terancam.

Hal lain yang menarik dalam Perkap ini adalah dalam pasal 13 ayat 2 dinyatakan bahwa petugas POLRI di lapangan saat menerima perintah dari atasannya namun tidak melaksanakannya karena si petugas beranggapan bahwa tindakan sang atasan bertentangan dengan peraturan, maka dalam kondisi demikian, dibenarkan untuk tidak mengikutinya.

Akhirnya, marilah sama-sama kita saksikan bagaimana pelaksanannya nanti dan semoga dengan adanya Perkap ini akan semakin memudahkan Polri dalam menunaikan tugasnya memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan pada masyarakat serta menciptakan situasi Kamtibmas yang kondusif dengan dukungan dari berbagai pihak terutama masyarakat

Tulisan ini sebelumnya pernah penulis muat di Situs TANDEF.

Berikut secara lengkap pasal pasal PERKAP NO.1, semoga bermanfaat.




PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2009

TENTANG

PENGGUNAAN KEKUATAN

DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. Bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

b. Bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dilapangan sering dihadapkan pada situasi, kondisi atau permasalahan yang mendesak sehingga perlu melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan Kepolisian.

c. Bahwa pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan Kepolisian harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum dan tetap menghormati / menjunjung hak azasi manusia.

d. Bahwa untuk dijadikan pedoman bagi anggota Kapolisian Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugas di dilapangan tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan Kepolisian, perlu ditentukan standar dan cara – cara yang dapat dipertanggung jawabkan.

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu menetapkan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan Kepolisian.

Mengingat :

1. Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 nomor 2, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4168 ).

2. Keputusan Presiden nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata kerja Negara Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : 1. PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal I

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dan menegakkan Hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam Negeri.

2. Tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan / atau tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa raga harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat.

3. Penggunaan kekuatan adalah segala penggunaan / pengerahan daya, potensi atau kemampuan anggota Polri dalam rangka melaksanakan tindakan Kepolisian.

4. Mempertahankan diri dan / atau masyarakat adalah tindakan yang diambil oleh anggota Polri untuk melindungi diri sendiri atau masyarakat, atau harta benda atau kehormatan kesusilaan dari bahaya yang mengancam secara langsung.

5. Tindakan pasif adalah tindakan seseorang atau sekelompok orang yang tidak mencoba menyerang, tetapi tindakan mereka mengganggu atau dapat menggangu ketertiban masyarakat atau keselamatan masyarakat, dan tidak mengindahkan perintah anggota Polri untuk menghentikan perilaku tersebut.

6. Tindakan aktif adalah tindakan seseorang atau sekelompok orang untuk melepaskan diri atau melarikan diri dari anggota Polri tanpa menunjukan upaya menyerang anggota Polri.

7. Tindakan agresif adalah tindakan seseorang atau sekelompok orang untuk menyerang anggota Polri, masyarakat, harta benda atau kehormatan kesusilaan.

Pasal 2

(1) Tujuan Peraturan ini adalah untuk memberi pedoman bagi anggota Polri dalam pelaksanaan tindakan kepolosian yang memerlukan penggunaan kekuatan, sehingga terhindar dari penggunaan kekuatan yang berlebihan atau tidak dapat di pertanggung jawabkan.

(2) Tujuan penggunaan kekuatan dalam tindakan Kepolisian adalah:

  1. Mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka uang sedang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum.
  2. Mencegah pelaku kejahatan atau tersangka melarikan diri atau melakukan tindakan yang membahayakan anggota polri atau masyarakat.
  3. Melindungi diri atau masyarakat dari ancaman perbuatan atau perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menimbulkan luka parah atau mematikan atau.
  4. Melindungi kehormatan kesusilaan atau harta benda diri sendiri atau masyarakat dari serangan yang melawan hak dan / atau mengancam jiwa manusia.

Pasal 3

Prinsip – prinsip penggunaan kekuatan dalm tindakan kepolisian meliputi :

  1. Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
  2. Nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang di perlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi.
  3. Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus di laksankan secar seimbang antara ancaman yang di hadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian / korban / penderitaan yang berlebihan.
  4. Kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota polri di beri kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum.
  1. Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan.
  2. Masuk akal ( reasonable ), yang berarti bahwa tindakan kepolisian di ambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.

Pasal 4

Ruang lingkup peraturan ini meliputi :

  1. Penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang di lakukan oleh anggota Polri sebagai individu atau individu dalam ikatan kelompok
  2. Tahapan dan pelatihan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
  3. Perlindungan dan bantuan hukum serta pertanggung jawaban berkaitan dengan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
  4. Pengawasan dan penggendalian penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian
  5. Tembakan peringatan .

BAB II

PENGUNAAN KEKUATAN

Bagian Kesatu

Tahapan

Pasal 5

(1) Tahapan pengunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian terdiri dari :

a. tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak ctete/ren^encegahan.

b. tahap 2 : perintah lisan.

c. tahap 3 : kendali tangan kosong lunak.

d. tahap 4 : kendali tangan kosong keras.

e. tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia, antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standart polri.

f. tahap 6 : Kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri, atau anggota masyarakat.

(2) Anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka dengan memperhatikan prsinsip – prinsip sebagaiman dimaksud dalam pasal 3.

Bagian Kedua

Pelaksanaan

Pasal 6

(1) Tahapan pengunaan kekuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan dengan kehadiran anggota Polri yang dapat diketahui dari :

a. Seragam atau rompi atau jaket yang bertuliskan POLISI yang dikenakan oleh anggota Polri.

b. Kenderaan dengan tanda POLRI.

c. Lencana kewenangan POLISI; atau

d. Pemberitahuan lisan dengan meneriakkan kata “ POLISI “.

Pasal 7

(1) Pada setiap tahapan penggunaan kekuatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dapat diikuti dengan komunikasi lisan / ucapan dengan cara, membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.

(2) Setiap tingkatan bahaya ancaman terhadap anggota Polri atau masyarakat dihadapi dengan tahapan penggunaan kekuatan sebagai berikut :

a. Tindakan pasif dihadapi dengan kendali tangan kosong lunak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf c.

b. Tindakan Aktif dihadapi dengan kendali tangan kosong keras sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf d.

c. Tindakan Agresif dihadapi dengan kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standart polri sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf e.

d. Tindakan agresif yang berisifat segera yang dilakukan oleh pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum seperti : membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata / amunisi, atau menghancurkan objek Vital dapat dihadapi dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf f.

Pasal 8

(1) Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf dilakukan ketika :

a. Tindakan pelaku kejahatan tersangka dapat segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat.

b. Anggota Polri tidak memiliki altenatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan / perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut.

c. Anggota Polri sedang mencagah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

(2) Pengunaan kekuatan dengan senjata api atauy alat lain sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.

(3) Untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segara terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada yat (1), dapat dilakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan perintah lisan.

Pasal 9

Pengunaan senjata api dari dan kearah kendaraan yang bergerak atau kendaraan yang melarikan diri diperbolehkan, kehati – hatian yang tinggi dan tidak menimbulkan resiko baik terhadap diri anggota Polri itu sendiri maupun masyarakat.

Pasal 10

Dalam hal penggunaan senjata api sebagai man di maksud dalam pasal 7 ayat ( 2 ) huruf d, pasal 8 dan 9, anggota polri harus memiliki kualifikasi sesuai ketentuan yang berlaku.

BAB III

PELATIHAN

Pasal 11

(1) Anggota Polri sebelum melaksanakan tindakan kepolisian sebagai di maksud dalam pasal 5 ayat 1 harus mendapatkan pelatihan dari kesatuan pusat atau wilayah.

(2) Pelatihan sebagai dimaksud pada ayat 1, didukung sarana dan prasarana yang dirancang sesuai standar Pelatihan Polri

BAB IV

PERLINDUNGAN DAN BANTUAN HUKUM

SERTA PERTANGGUNG JAWABAN

Pasal 12

(1) Angota Polri yang menggunakan kekuatan dalam pelaksanakan tindakan kepolisian sesuai prosedur yang berlaku berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum oleh Polri sesuai dengan peraturan perundang – undangan

(2) Hak anggota Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh Institusi Polri

Pasal 13

(1) Setiap Individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan dalam tindakan kepolisian yang di lakukannya

(2) Dalam hal pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang didasarkan pada perintah atasan / pimpinan, anggota Polri yang menerima perintah tersebut dibenarkan untuk tidak melaksanakan perintah,bila perintah atasan / pimpinan bertentangan peraturan perundang – undangan

(3) Penolakan pelaksanaan perintah atasan / pimpinan untuk menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolsian sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus dapat di pertanggungjawabkan dengan alasan yang masuk akal.

(4) Atasan / Pimpinan yang memberi perintah kepada angghota Polri untuk melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, harus turut bertanggung jawab atas resiko / akibat yang terjadi sepanjang tindakan anggota tersebut tidak menyimpang dari perintah atau arahan yang diberikan.

(5) Pertanggung jawaban atas resiko yang terjadi akibat keputusan yang diambil oleh anggota Polri ditentukan berdasarkan hasil penyelidikan / penyidikan terhadap peristiwa yang terjadi oleh tim investigasi.

(6) Tim Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat 5 dibentuk sesuai ketentuan yang berlaku.

BAB V

PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 14

(1) Setiap pimpinan sebelum menughaskan anggota yang diperkirakan akan menggunakan kekuatan dalam tindakan Kepolisian wajib memberikan arahan kepada anggota yang ditugaskan mengenai penggunaan kekuatan.

(2) Setiap anggota yang menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian wajib memperhatikan arahan pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam menerapkan diskresi Kepolisian.

(3) Setiap pelaksanaan tindakan Kepolisian yang menggunakan kekuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 huruf d, huruf e, dan / atau huruf f, anggota Polri yang melaksanakan penggunaan kekuatan wajib secara segera melaporkan pelaksanaannya kepada atasan langsung secara tertulis dalam bentuk formulir penggunaan kekuatan sebagaimana contoh yang tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dengan peraturan ini.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 memuat antara lain :

a. tanggal dan tempat kejadian.

b. uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga

memerlukan tindakan Kepolisian.

c. alasan / pertimbangan penggunaan kekuatan.

d. rincian kekuatan yang digunakan.

e. evaluasi hasil penggunaan kekuatan.

f. akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.

(5) Informasi yang dimuat dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 digunakan untuk:

a. bahan laporan penggunaan kekuatan tahap 4 sampai dengan tahap 6 sebagaimana

dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 huruf d,e, dan huruf f.

b. mengetahui tahapan penggunaan kekuatan yang telah digunakan.

c. mengetahui hal-hal yang terkait dengan keselamatan anggota Polri dan atau

masyarakat.

d. bahan analisa dan evaluasi dalam rangka pengembangan dan peningkatan

kemampuan profesional anggota Polri secara berkesinambungan.

e. bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan.

f. bahan pembelaan hukum dalam hat terjadi gugatan pidana / perdata terkait

penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan.

BAB VI

TEMBAKAN PERINGATAN

Pasal 15

(1) Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat menimbulkan bahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak bersifat segera, dapat dilakukan tembakan peringatan.

(2) Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, serta tidak menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang disekitarnya.

(3) Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah dilakukan tidak berhasil dengan tujuan sebagai berikut :

a. untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan menyerang anggota polri atau masyarakat.

b. untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku kejahatan atau tersangka.

(4) tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya ancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian bersifat segera, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tembakan peringatan.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 16

Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka Peraturan Kapolri No.Pol.: 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Tindakan Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penggunaan Kekuatan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 17

Peraturan Kapolri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 13 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

Ditetapkan di Jakarta

Pada Tanggal 13 Januari 2009

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Drs. H.BAMBANG HENDARSO DANURI, M.M.

JENDERAL POLISI

Agar setiap orang mengetahuinya, peraturan Kapolri ini di Undangkan dengan Penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 6

SOSIALISASI UU NO 22 TAHUN 2009 TENTANG UU LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

KAPOLRI JENDERAL POL. BAMBANG HENDARSO MENYATAKAN “KITA SEMUA PATUT BERGEMBIRA DAN BERSYUKUR” BERKAT, KERJA KERAS JAJARAN DIT LANTAS POLRI, KHUSUSNYA YANG DIEMBAN OLEH TIM RUU LLAJ, BERHASIL MENDUKUNG TERBENTUKNYA UU NO 22 TAHUN 2009. PADA AWALNYA, TAMBAH KAPOLRI RUU LLAJ YANG DIGAGAS OLEH DEPARTEMEN PERHUBUNGAN, TERKESAN AKAN MERUBAH TOTAL UU NO.14 TAHUN 1992 DARI 74 PASAL MENJADI 190 PASAL, SERTA CENDERUNG MENGABAIKAN ASPEK KEHARMONISASIAN DENGAN PERUNDANGAN TERKAIT LAINNYA, DAN TIDAK DIKOORDINASIKAN DENGAN INSTITUSI YANG BERSANGKUTAN, SEHINGGA MENIMBULKAN PERMASALAHAN MENYANGKUT SUSBTANSI MATERI YANG BERKAITAN DENGAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN WEWENANG POLRI.

KAPOLRI MENYAMPAIKAN PENGHARGAAN ATAS UPAYA KERAS DARI JAJARAN LALU LINTAS, SEHINGGA DAPAT TERBENTUK UNDANG - UNDANG YANG LEBIH SEMPURNA, EFEKTIF DAN APLIKATIF DALAM HAL IKHWAL PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN SESUAI HARAPAN MASYARAKAT, SEJALAN DENGAN KONDISI DAN KEBUTUHAN PENYELENGGARAAN LALU LIINTAS DAN ANGKUTAN JALAN SAAT INI, SERTA HARMONI DENGAN UNDANG - UNDANG LAINNYA.

LEBIH LANJUT DIKATAKAN MEMAHAMI PROSES PEMBENTUKAN DAN NUANSA PSIKOLOGIS YANG MELATARI TERBENTUKNYA UU NO 22 TAHUN 2009 SEBAGAIMANA YANG SAYA SAMPAIKAN, ADALAH PENTING. NAMUN DEMIKIAN, KE DEPAN, YANG LEBIH PENTING DARI HAL TERSEBUT ADALAH BAGAIMANA KITA DAPAT EMNJAWAB DAN MENJALANKAN AMANAH YANG TERTUANG DI DLAMNYA. SESUAI DENGAN PASAL 7 ( 2 ) e, DINYATAKAN BAHWA TUGAS POKOK DAN FUNGSI POLRI DALAM HAL PENYELENGGARAAN LALU LINTAS, SEBAGAI SUATU : “URUSAN PEMERINTAH DI BIDANG REGISTRASI DAN IDENTIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR DAN PENGEMUDI, PENEGAKAN HUKUM, OPERASIONAL MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS, SERTA PENDIDIKAN BERLALU LINTAS”.

SELANJUTNYA, TUGAS DAN FUNGSI POLRI TERSEBUT, DIPERINCI PADA PASAL 12, MELIPUTI 9 HAL YAKNI :
1. PENGUJIAN DAN PENERBITAN SIM KENDARAAN BERMOTOR.
2. PELAKSANAAN REGISTRASI DAN IDENTIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR.
3. PENGUMPULAN, PEMANTAUAN, PENGOLAHAN, DAN PENYAJIAN DATA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.
4. PENGELOLAAN PUSAT PENGENDALIAN SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.
5. PENGATURAN, PENJAGAAN, PENGAWALAN DAN PATROLI LALU LINTAS.
6. PENEGAKAN HUKUM MELIPUTI PENINDAKAN PELANGGARAN DAN PENANGANAN KECELAKAAN LALU LINTAS.
7. PENDIDIKAN BERLALU LINTAS.
8. PELAKSANAAN MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS.
9. PELAKSANAAN MANAJEMEN OPERASIONAL LALU LINTAS.

SELAIN ITU, DALAM UNDANG – UNDANG INI DINYATAKAN BAHWA PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DILAKSANAKAN SECARA TERKOORFINASI MELIBATKAN PEMERINTAH, PEMDA, BADAN HUKUM DAN MASYARAKAT, YANG TERWADAHI DALAM FORUM LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.

MENYADARI CAKUPAN TUGAS DAN FUNGSI POLRI DALAM PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN SESUAI DENGAN KETENTUAN DALAM UU NO 22 TAHUN 2009, YANG SANGAT LUAS DAN MENGANDUNG KEWENANGAN YANG SANGAT BESAR, Dl MANA HAL TERSEBUT JUGA MERUPAKAN HASIL SUMBANG PEMIKIRAN PARA PERWIRA SEKALIAN, MAKA DALAM KESEMPATAN INI, SAYA MINTA KEPADA SEGENAP JAJARAN POLRI, KHUSUSNYA FUNGSI LANTAS, UNTUK SECEPATNYA MEMBENAHI DIRl, MENINGKATKAN KINERJA DAN MENATA SISTEM DALAM PENYELENGGARAAN MANAJEMEN LALU LINTAS, SEHINGGA POLRI DAPAT MENJALANKAN UU NO 22 TAHUN 2009 DENGAN BAIK, SERTA MAMPU MEMBERIKAN PENGARUH SIGNIFIKAN TERHADAP TINGKAT KEPERCAYAAN MASYARAKAT.

DALAM PADA ITU KAPOLRI MEGATAKAN KEMAMPUAN KITA DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN UU TERSEBUT, AKAN SANGAT MENENTUKAN EKSISTENSI POLRI, SEBAGAI INSTITUSI YANG DIPERCAYAI MASYARAKAT DAN DIAMANAHI OLEH UNDANG - UNDANG UNTUK MEMBERIKAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT DI BIDANG KELALULINTASAN, MEMELIHARA KAMTIBCARLANTAS, SERTA MENEGAKKAN HUKUM. DALAM HAL INI, SAYA BERPESAN : JANGAN SAMPAI POLRI TIDAK MAMPU MELAKUKAN PEKERJAAN YANG DIPRAKARSAI OLEH DIRINYA SENDIRI.

BERBICARA MASALAH EKSISTENSI POLRI, SAYA MINTA KEPADA PERWIRA SEKALIAN, AGAR SELALU MEMBUKA WAWASAN BERPIKIR. YANG LUAS DALAM MENJALANKAN TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB, SERTA KEWENANGAN YANG DIMILIKI. CERMATI PERKEMBANGAN LINGKUNGAN, DINAMIKA SERTA TUNTUTAN MASYARAKAT YANG TERJADI, SEHINGGA KITA AKAN MAMPU MENAMPILKAN KINERJA YANG TERBAIK, CEPAT DALAM MEMBERIKAN LAYANAN, TRANSPARAN, AKUNTABEL, SERTA TERWUJUD KAMTIBCAR LANTAS DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMBANGUNAN NASIONAL.

NAMUN DEMIKIAN, DALAM KESEMPATAN INI PULA, PERLU SAYA SAMPAIKAN BAHWA, DENGAN ADANYA UU NO 22 TAHUN 2009 INI, BUKAN BERARTI BAHWA POLRI AKAN BERORIENTASI PADA KEWENANGAN (AUTHORITY). AKAN TETAPI, HARUS DISADARI BAHWA TUGAS DAN FUNGSI POLRI Dl BIDANG LALU LINTAS, BERIKUT KEWENANGAN - KEWENANGAN YANG MELEKAT, BERKORELASI ERAT DENGAN FUNGSI KEPOLISIAN LAINNYA BAIK MENYANGKUT ASPEK PENEGAKAN HUKUM MAUPUN PEMELIHARAAN KAMTIBMAS DAN PENCEGAHAN KEJAHATAN SECARA TERPADU.

SEBAGAI CONTOH : REGISTRASI KENDARAAN BERMOTOR BERKAITAN ERAT DENGAN SCIENTIFIC CRIME INVESTIGATION, MAUPUN KESATUAN DATA BASE FINGER PRINT UNTUK KEPENTINGAN IDENTIFIKASI PEMILIK SIM, JUGA MEMILIKI KAITAN DENGAN INVESTIGASI KRIMINAL. DEMIKIAN JUGA DALAM HAL MANAJEMEN OPERASIONAL LALU LINTAS, POLRI MENJADI BAGIAN YANG PENTING DAN MENENTUKAN GUNA TERWUJUDNYA SISTEM TRANSPORTASI PUBLIK YANG AMAN, NYAMAN DAN LANCAR.

HAL TERSEBUT MENUNJUKKAN KONEKSITAS YANG TINGGI, ANTARA IMPLEMENTASI TUGAS DAN FUNGSI POLRI DALAM PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN, DENGAN BANYAK ASPEK LAINNYA DALAM PENYELENGGARAAN BERBAGAI URUSAN PEMERINTAHAN. UNTUK ITU, SAYA MENGINGATKAN PENTINGNYA HUBUNGAN KEMITRAAN YANG SINERGIS, DENGAN BERBAGAI KOMPONEN BANGSA, MULAI DARI PEMERINTAHAN BAIK DI TINGKAT PUSAT DAN DI DAERAH, ATPM (AGEN TUNGGAL PEMEGANG MERK), KALANGAN AKADEMISI, SAMPAI DENGAN ORGANISASI MASYARAKAT YANG CONCERN DENGAN PERMASALAHAN PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.

SELANJUTNYA KAPOLRI MENEGASKAN GUNA MENJAMIN TERWUJUDNYA PERFORMA POLRI DALAM PENUGASAN BIDANG LALU LINTAS SEBAGAIMANA TUGAS YANG DIGARISKAN DALAM UNDANG - UNDANG, AGAR DAPAT BERJALAN SESUAI HARAPAN MASYARAKAT DAN KETENTUAN ETIKA PROFESI (CORE VALUES), MAKA DIPERLUKAN DUKUNGAN DARI SEGENAP PENGEMBAN FUNGSI KEPOLISIAN LAINNYA YANG TERKAIT, DAN PENGAWASAN YANG EFEKTIF, TIDAK SAJA DENGAN MENGANDALKAN PENGAWASAN EKSTERNAL DARI LEMBAGA LEGISLATIF, LEMBAGA EKSEKUTIF, LEMBAGA OMBUDSMAN, LSM, INDIVIDU SERTA KELOMPOK MASYARAKAT, ATAUPUN MEDIA SEBAGAI WUJUD MEKANISME CHECK AND BALANCES, TETAPI JUGA PENGAWASAN INTERNAL DALAM BENTUK PENGAWASAN MANAJERIAL DARI PARA PIMPINAN FUNGSI LALU LINTAS MAUPUN PENGAWASAN DARI PENGEMBAN FUNGSI PENGAWASAN LINGKUP INTERNAL POLRI.

DALAM UU NO 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN INI, TERDAPAT BEBERAPA PRINSIP PENTING YANG PARALEL DENGAN PRAKTEK GOOD GOVERNANCE .AND CLEAN GOVERNMENT. DIANTARANYA ADALAH MENCANTUMKAN ASAS TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS, BERKELANJUTAN, PARTISIPATIF, MANFAAT, EFISIENSI DAN EFEKTIF, KESEIMBANGAN, TERPADU DAN KEMANDIRIAN. DENGAN DEMIKIAN REGULASI INI TELAH MENJADI LANDASAN PELAKSANAAN TUGAS, YANG SEJALAN DENGAN TUNTUTAN PERUBAHAN LINGKUNGAN.

SEJALAN DENGAN HAL TERSEBUT, MAKA ACARA SOSIALISASI INI DIHARAPKAN DAPAT MENUMBUHKAN KOMITMEN UNTUK LEBIH MENINGKATKAN SINERGITAS ANTARA FUNGSI LALU LINTAS DAN FUNGSI -FUNGSI LAINNYA YANG TERKAIT, BAIK SEBAGAI PENDUKUNG MAUPUN MENGEMBAN MISI PENGAWASAN. DENGAN DEMIKIAN, DIHARAPKAN POLRI, KHUSUSNYA JAJARAN YANG MENGEMBAN FUNGSI KELALULINTASAN DAPAT MELAKSANAKAN TUGASNYA DENGAN BAIK. Dl SAMPING ITU, FUNGSI PENGAWASAN INTERNAL JUGA DIHARAPKAN MAMPU MENJAGA DAN MENGAWAL DINAMIKA OPERASIONAL PENGEMBAN FUNGSI LALU LINTAS, AGAR SENANTIASA BERJALAN SESUAI DENGAN ARAH KEBIJAKAN REFORMASI BIROKRASI POLRI, KHUSUSNYA PROGRAM UNGGULAN –QUICK WINS.

KAPOLRI MENGINGATKAN, SAAT INI KITA TENGAH MENJALANKAN REFORMASI BIROKRASI POLRI, MELIPUTI LIMA PROGRAM UTAMA YAITU : EVALUASI KINERJA DAN PROFIL POLRI 2025, QUICK WINS, RESTRUKTURISASI ORGANISASI, MANAJEMEN SDM DAN REMUNERASI, SERTA MANAJEMEN PERUBAHAN, SEBAGAI PENJABARAN AMANAH YANG ADA DALAM UU NO 17 TAHUN 2007 SERTA GRAND STRATEGI POLRI TAHUN 2005 - 2025. REFORMASI BIROKRASI INI, ADALAH UNTUK MENGAKSELERASIKAN PROSES PERUBAHAN DAN MEMBANGUN KULTUR POLRI SECARA KONSEPTUAL, KONSISTEN, DAN BERKESINAMBUNGAN, DEMI MENCAPAI OUTPUT POLRI YANG MAMPU MENAMPILKAN PROFESIONALITAS, MENUNJUKKAN SPIRIT DAN ETOS KERJA YANG TINGGI, BERORIENTASI KEPADA KEPENTINGAN MASYARAKAT, BANGSA, DAN NEGARA, SERTA MENUNJUKKAN KOMITMEN YANG KUAT DALAM PELAKSANAAN TUGAS.

REFORMASI BIROKRASI INI, DILAKSANAKAN SALAH SATUNYA, MELALUI PROGRAM UNGGULAN QUICK WINS, YANG BERTUJUAN UNTUK MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DAN KECINTAAN MASYARAKAT KEPADA POLRI DALAM WAKTU YANG CEPAT, Dl MANA DUA DIANTARA EMPAT PROGRAM Dl DALAMNYA, SECARA LANGSUNG MENGAIT DENGAN TUGAS KELALULINTASAN, YAKNI QUICK RESPONSE DAN TRANSPARANSI PELAYANAN SSB.

KITA PATUT BERBANGGA BAHWA POLRI MERUPAKAN SALAH SATU INSTITUSI YANG PALING CEPAT MERESPON KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM HAL REFORMASI BIROKRASI, Dl MANA PADA TANGGAL 30 JANUARI YANG LALU, PROGRAM QUICK WINS TELAH Di LAUNCHING OLEH BAPAK PRESIDEN RI, DENGAN FUNGSI LALU LINTAS SEBAGAI PENJURU. SETELAH ITU, BERTEPATAN DENGAN PERINGATAN HA.RI BHAYANGKARA 1 JULI 2009, POLRI MELUNCURKAN PROGRAM "INTEGRATED SYSTEM PELAYANAN LALU LINTAS", YANG MERUPAKAN SISTEM PELAYANAN ADMINISTRASI SIM, STNK DAN BPKB SERTA KECELAKAAN LALU - LINTAS TERINTEGRASI SECARA ON LINE DENGAN PERBANKAN (BRI) ,BEA CUKAI, 17 A.T.P.M DAN JASA RAHARJA. MELALUI PROGRAM INI PELAYANAN AKAN SEMAKIN CEPAT, MURAH, MUDAH, TRANSPARAN DAN AKUNTABEL.

INI SEMUA, SEBENARNYA MENUNJUKKAN KETERKAITAN ERAT ANTARA FUNGSI LALU LINTAS DENGAN PENJABARAN REFORMASI BIROKRASI POLRI. PARA PERWIRA SEKALIAN TENTUNYA MENYADARI BAHWA FUNGSI LALU LINTAS, MERUPAKAN SALAH SATU CORE BUSSINESS Dl LINGKUNGAN POLRI, KARENA KARAKTERISTIK TUGASNYA YANG MENCAKUP TIGA RUMUSAN TUGAS POKOK POLRI, SERTA BANYAK BERSENTUHAN SECARA LANGSUNG DENGAN MASYARAKAT. OLEH KARENA ITU, LALU LINTAS MERUPAKAN ETALASE POLRI, DIMANA SOROTAN PUBLIK AKAN BANYAK TERTUMPU KEPADA KINERJA LALU LINTAS, SEHINGGA INI MENJADIKAN FUNGSI LALU LINTAS MENJADI SANGAT STRATEGIS BERKENAAN DENGAN STRATEGI MEMBANGUN KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEKALIGUS UPAYA INTERNAL POLRI UNTUK MENGAKSELERASIKAN TRANSFORMASI KULTURAL.

PERFORMA FUNGSI LALU LINTAS DALAM PELAKSANAAN TUGAS AKAN BANYAK MEMPENGARUHI CITRA POLISI, BISA SAJA BERSIFAT POSITIF MAUPUN NEGATIF. DENGAN KATA LAIN, PERSEPSI MASYARAKAT TERKAIT PELAKSANAAN TUGAS PELAYANAN, PENEGAKAN HUKUM, MAUPUN PEMELIHARAAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN BERLALU LINTAS, SENANTIASA BERSIFAT KORELATIF LINIER TERHADAP IMAGE POLRI.

KARAKTERISTIK TUGAS DAN FUNGSI LALU LINTAS YANG BERSENTUHAN LANGSUNG DENGAN MASYARAKAT, MENIMBULKAN KONSEKUENSI DIJADIKANNYA FUNGSI INI SEBAGAI SASARAN BERBAGAI KONTROL EKSTERNAL. HAL TERSEBUT HENDAKNYA DILIHAT SEBAGAI BENTUK KEPEDULIAN MASYARAKAT PADA KUALITAS PELAYANAN PUBLIK YANG DILAKUKAN OLEH POLRI, SERTA DIJADIKAN SEBAGAI CAMBUK UNTUK MENINGKATKAN KINERJA, GUNA TERWUJUDNYA TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS, MAUPUN PELAYANAN PUBLIK YANG MUDAH DAN CEPAT, DALAM RANGKA GOOD GOVERNMENT ( PEMERINTAH YANG BERSIH ).

MEMAHAMI HAL TERSEBUT, SYA HARAPKAN AGAR FUNGSI PROPAM MELALUI KEGIATANNYA BAIK YANG BERSIFAT PREEMTIF, PREVENTIF, AMUPUN REPRESIF, MAMPU MENGELIMINIR BERBAGAI POTENSI MAUPUN ANCAMAN FAKTUAL DALAM PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI POLRI DI BIDANG KELALULINTASAN SEPERTI BERUPA PENYIMPANGAN PERILAKU ANGGOTA, PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN, MAUPUN KOMPLAIN MASYARAKAT.

HENDAKNYA DIPAHAMI OLEH JAJARAN PROPAM BAHWA DALAM PELAKSANAAN PENGAWASAN INTERNAL, LEBIH LANJUT DIUTAMAKAN KEPADA ASPEK PENCEGAHAN, SERTA TERWUJUDNYA KETERPADUAN DENGAN FUNGSI TERKAIT. NAMUN DEMIKIAN, MANAKALA DITEMUKAN TERJADI PENYIMPANGAN MAUPUN PELANGGARAN TERHADAP ATURAN, BAIK KODE ETIK PROFESI POLRI MAUPUN DISIPLIN, BAHKAN PIDANA, SAYA MINTA SEGENAP JAJARAN PROPAM UNTUK TIDAK RAGU – RAGU DALAM MENGAMBIL TINDAKAN, YANG TENTUNYA DILANDASI PRINSIP OBYEKTIF, CEPAT, DAN MENGANDUNG KEPASTIAN HUKUM.

DENGAN DEMIKIAN, KEMAMPUAN PROPAM DALAM MENJALANKAN FUNGSI PENGAWASAN, SERTA MEMBINA HUBUNGAN YANG SINERGIS DENGAN OBYEK PENGAWASAN, AKAN SANGAT MENDUKUNG PENCAPAIAN KEBIJAKAN REFORMASI BIROKRASI POLRI, KHUSUSNYA PROGRAM UNGGULAN QUICK WINS DALAM BIDANG LALU LINTAS.

DEMIKIAN JUGA, KEPADA PARA PENGEMBAN FUNGSI PENDUKUNG, SEPERTI FUNGSI SAMAPTA BERIKUT JAJARANNYA, SAYA MINTA DAPAT MEMAHAMI ISI UNDANG - UNDANG INI DENGAN BAIK, MENGINGAT TUGAS -TUGAS KESAMAPTAAN CUKUP IDENTIK DENGAN BEBERAPA BENTUK PENUGASAN LALU LINTAS. SEDANGKAN UNTUK PARA PENGEMBAN FUNGSI BINA MITRA, SAYA HARAPKAN DAPAT MEMBANTU MENSOSIALISASIKAN PERUNDANGAN YANG BARU INI KEPADA MITRA POLRI MAUPUN SEGENAP MASYARAKAT, SEHINGGA AKAN TERWUJUD BUDAYA SADAR DAN PATUH HUKUM. UNTUK PARA PENGEMBAN FUNGSI PEMBINAAN HUKUM (BINKUM), SAYA HARAPKAN SENANTIASA MEMANTAU DAN MENGKAJI PENERAPAN UNDANG - UNDANG INI, SERTA MEMBERIKAN BIMBINGAN TEKNIS DALAM HAL PENERAPAN HUKUM PADA PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN, KHUSUSNYA MENYANGKUT PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI YANG DIEMBAN OLEH POLRI.

MELIHAT KENYATAAN YANG BERKEMBANG DAN BERBAGAI PERSOALAN DI LAPANGAN, TERUTAMA DALAM TUGAS-TUGAS POLISI YANG BERKAITAN DENGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN, SECARA JUJUR HARUS KITA AKUI BAHWA MASIH BANYAK HAL YANG PERLU KITA PERSIAPKAN SECARA MAKSIMAL, SEHINGGA KITA DAPAT MELAKSANAKAN TUGAS DAN KEWENANGAN YANG DIBERIKAN OLEH UNDANG-UNDANG SECARA MAKSIMAL PENTING UNTUK DIINGAT BAHWA PADA GILIRANNYA MASYARAKATLAH YANG AKAN MENILAI BAHWA POLRI MEMANG MAMPU UNTUK MELAKSANAKAN AMANAH UNDANG - UNDANG DENGAN BAIK DAN PENUH RASA TANGGUNG JAWAB, SEHINGGA MASYARAKAT JUGA YANG AKAN MENILAI TENTANG KEPATUTAN POLRI UNTUK MENGEMBAN BERBAGAI KEWENANGAN TERSEBUT DIBANDINGKAN DENGAN PIHAK LAIN.

Jumat, 12 Juni 2009

KISI SOAL UAS

1. Soal Psikologi --> menggunakan Psikotest. Terdiri dari : analogi verbal, kemampuan verbal ( anonim, sinonim), kemampuan kuantitatif, Kemampuan Penalaran Analitik, Kemampuan Penalaran Logis, Kemampuan Tehnikal.

2. Soal KMB III dan IV adalah multiple Choise dengan 50 soal dosen tim

3. Soal Psikoneuroimunologi adalah 50 soal multiple Choise dosen tiem

4. Soal Nursery of Children adalah 50 soal multiple Choise dosen tiem

Kisi Kisi Riset

Lany, anak seorang pengusaha perbankan kuliah di Perguruan Tinggi dengan cita-cita menjadi bankir Bank BCA. Lany saat ini sedang menyelesaikan tugas akhirnya. Ayah Lany berjanji kalau lulus sarjana akan dibelikan mobil baru untuk aktivitasnya sehari-hari. Kemudian Lany mencari dan mempelajari kualifikasi merek mobil dan model yang beredar. Dari berbagai merek yang dipelajari, ia akhirnya memutuskan pada merek mobil dari Jepang dengan jaminan suku cadang yang mudah didapat dan murah. Serta yang tidak kalah pentingnya adalah jaminan servis dan bengkel resmi yang berada di dekat rumahnya.
Hasil penelitian terhadap merek mobil memberikan ide kepadanya untuk membuat skripsi dengan judul Analisis Kepuasan Konsumen Terhadap Pelayanan Servis Mobil Escudo dan Kijang. Untuk keperluan penelitian Lany menyusun instrumen penelitian dengan 25 pertanyaan dan angket disebar kepada 30 orang. Hasilnya ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tugas :
1. Apakah Data pada tabel sudah terdistribusi normal ?
2. Apakah persepsi konsumen terhadap kualitas service mobil escudo dan mobil kijang adalah sama ?

Tabel ada pada Master soal.

terima kasih.

Kamis, 11 Juni 2009

Perkap no.24 Thn 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan, Instansi / Lembaga Pemerintah


Pasal 42 - 46
Registrasi dan KTA (Pasal 42-46)


Pasal 42
Pada pasal 42 ayat (1) huruf a dijelaskan bahwa pergantian Kartu Satpam karena habis masa berlaku harus melalui tata cara seperti yang tercantum pada Pasal 37 (3) yaitu menyertakan persyaratan seperti pada awal pembuatan KTA. Pada dasarnya apabila data Satpam sudah ada sebelumnya maka persyaratan seperti foto, rumus sidik jari tidak perlu lagi dilaksanakan. Karena hanya akan menjadi tumpukan file saja. Akan lebih mudah ketika segala sesuatunya dapat dilakukan pencocokan saja dengan sistem komputerisasi sehingga tidak perlu melampirkan hardcopy dari persyaratan yang dimaksud.

Untuk kartu yang hilang atau rusak maka dalam rangka meminta penggantiannya harus dilakukan pelampiran bukti-bukti hilang atau sebab-sebab kerusakan sesuai Pasal 42 (1) huruf b. Untuk melakukan hal tersebut sebaiknya dilampirkan dengan laporan kehilangan dari kepolisian (sesuai juklak dan juknis pelaporan kehilangan barang) mengenai kehilangan KTA tersebut.

Pasal 42 (1) huruf c sebaiknya ada revisi mengenai penyerahan KTA Satpam yang meninggal dunia. Karena pada pasal itu disebutkan diserahkan oleh penggunanya, yang sebaiknya diganti dengan diserahkan oleh keluarga atau perusahaan yang bertanggung jawab atas keberadaan Satpam di perusahaannya.
Pasal 42 ayat (2) pendataan KTA dikordinasikan pelaksanaannya sampai tingkat terbawah agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan penomoran dengan format baku yang telah ditentukan.

Pasal 43
Karena kebanyakan satuan kepolisian daerah masih belum on-line pada sistem pelaporannya, maka sebaiknya pelaporan disesuaikan dengan pelaporan BUJP yaitu per-semester. Ini untuk menghindari keterlambatan laporan yang seharusnya diterimakan dari tingkat Polres sampai Polda.

Pasal 44
Pembinaan disini dilaksanakan oleh Karo Bimmas Polri, apakah dengan demikian semua database Satpam dilaporkan kepada Karo Bimmas ataukah cukup Karo Bimmas mengetahui saja jumlah satpam yang ada di daerah, sedangkan pelaksanaan pendataannya diserahkan pada daerah. Ini yang harus ditetapkan melalui Keputusan Kapolri mengenai batas kewenangan yang diberikan agar tidak terkesan Polri menerapkan sistem desentralisasi secara murni.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Berkaitan dengan anggaran penyelenggaraan registrasi dan penerbitan KTA, sebaiknya dijelaskan tentang komponen apa saja yang terlibat dalam hal tersebut agar tidak rancu dalam pelaksanaannya.

BAB IV
HUBUNGAN DAN TATA CARA KERJA

Pasal 47 ayat (1)
Pada huruf a bahwa hubungan vertikal ke atas dilakukan terhadap Polri, Instansi/departemen teknis pemerintah dan asosiasi. Dengan Polri dikatakan hubungan yang dilakukan adalah berkaitan dengan kompetensi, legalitas, pemeliharan kemampuan dan kesiapsiagaan serta asistensi dan bantuan operasional. Dalam hal kompetensi dan legalitas Polri sebagai lembaga satu-satunya yang memberikan hal itu harus benar-benar selektif dan sesuai dengan prosedur yang ada. Sedangkan dalam hal pemeliharaan kemampuan, nampaknya Polri tidak sungguh-sungguh melakukan hal ini. Pemeliharaan harusnya bersifat berkelanjutan, bukan seperti apa yang dilakukan Polri saat ini. Terkadang penyuluhan hanya dilakukan insidentil ketika ada momen-momen tertentu saja dan bukan merupakan suatu kegiatan rutin yang seharusnya dimasukkan dalam suatu kegiatan dalam rangka pemeliharaan. Seharusnya Polri melakukan pemeliharaan secara berkelanjutan sehingga kesiapsiagaan dan asistensi yang diberikan Polri kepada satpam terlihat nyata pada penerapan kegiatan satpam selama mereka bertugas. Untuk bantuan operasional, seharusnya dipertegas bantuan operasional apa yang dapat diberikan Polri kepada satpam, karena untuk operasional sendiri saja, Polri masih belum dapat memenuhinya secara baik.

Kemudian pada huruf a bagian 2 dikatakan bahwa hubungan terkait dengan instansi dimana satpam tersebut bekerja. Hal ini benar karena biar bagaimanapun, satpam yang ada harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dimana mereka bekerja. Selanjutnya huruf a bagian 3 menyatakan satpam menerima arahan dari asosiasi terkait dengan pembinaan keprofesian di bidang industrial sekuriti dan advokasi terhadap masalah hukum yang terjadi. Sebaiknya semua hal tersebut berada dibawah pengawasan Polri, sehingga terkontrol dengan baik arahan apa yang diberikan oleh asosiasi terhadap satpam.

Lalu pada huruf b, satpam harus melakukan kordinasi sesama satpam, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat. Untuk kordinasi dengan masyarakat tentunya hal ini pasti dapat dilakukan dengan baik dengan alasan yang dilindungi satpam adalah masyarakat, secara otomatis maka satpam akan selalu berkordinasi dengan masyarakat. Namun untuk organisasi masyarakat dan sesama satpam sampai saat ini yang terlihat masih kurang berjalan, karena dari mereka belum ada rasa saling keterikatan, begitu pula dengan organisasi masyarakat. Satpam selalu mengandalkan Babinkamtibmas untuk melakukan hubungan tersebut, sehingga dalam aplikasinya hubungan horizontal perlu mendapatkan perhatian lebih agar dapat berjalan dengan baik seperti yang diharapkan.

Dan pada huruf c menyatakan hubungan dalam organisasi satpam dan perorangan. Sebenarnya kurang tepat bila ada hubungan vertikal ke bawah karena satpam hanya dapat melakukan hubungan vertikal ke atas dan horizontal. Sedangkan kebawah apabila dikaitkan dengan kode etik dan pertelaahan tugas, seharusnya Polri-lah yang berperan di bidang ini.

Pasal 47 ayat (2)
Disini harus diberikan petunjuk berupa Keputusan Kapolri, mengenai SOP baku yang harus dilaksanakan oleh badan usaha/perusahaan/instansi pemerintah/organisasi pengguna jasa pengamanan. Jadi standar pengamanan di tiap-tiap badan usaha tersebut sama.

Pasal 47 ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 48
Dalam pasal 48 ayat (1) mulai butir a sampai dengan e, semua prosedur yang dibuat adalah berdasarkan kebijakan perusahaan/instansi, namun demikian ada baiknya bila Polri sebagai pembina satpam dan pengawas satpam mendapatkan tembusan dari apa yang tercantum dalam Pasal ini, tidak terbatas hanya pada puncak manajemen (direksi) saja. Hal ini dilakukan sebagai sebuah sarana kontrol bagi Polri terhadap satpam-satpam yang ada dan bila sewaktu-waktu diperlukan evaluasi, maka Polri dapat melihatnya dari laporan-laporan yang dibuat oleh satpam tersebut.

Sedangkan pada ayat (2), masih ditemui satpam yang enggan menjadi saksi dalam sebuah kasus pidana yang terjadi di lingkungan tugasnya. Bahkan terkadang laporan polisi yang dibuat masih harus menunggu korban yang sesungguhnya. Sepertinya satpam tidak mengerti perbedaan delik aduan dan pidana murni, sehingga apa yang selama ini kurang dimengerti oleh satpam (karena jangka waktu pendidikan yang relatif sangat singkat) harus dijadikan perhatian tambahan guna menciptakan satpam yang lebih baik dari sebelumnya.

Pasal 49
Pada ayat (3) dinyatakan bahwa renpam hanya diserahkan pada Polri bila dianggap perlu. Seharusnya ini menjadi suatu kewajiban bagi perusahaan atau instansi untuk memberitahukan bagaimana renpam yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Sekalipun renpam harus mengacu pada kebijakan perusahaan/instansi, tetapi tidak ada salahnya Polri selaku pembina satpam diajak berkoordinasi dalam pembuatannya. Hal ini agar Polri lebih mudah melakukan kontrol terhadap kegiatan dan rencana pengamanan yang dimiliki oleh perusahaan/instansi.

Pasal 50
Yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah mengenai pelatihan berkala yang seharusnya diberikan secara periodik dalam rangka peninjauan dan untuk penyesuaian/ penyempurnaan. Selama ini kita ketahui bahwa pelatihan untuk kegiatan-kegiatan kontijensi hanya dilakukan beberapa instansi saja dan itu pun dilakukan hanya pada momen-momen tertentu saja. Contoh yang konkrit adalah ketika terjadi peledakan bom di JW.Marriot Hotel, barulah kemudian dilakukan pelatihan satpam serta karyawan untuk melakukan latihan evakuasi. Ini menunjukkan belum adanya kesadaran dari asosiasi, perusahaan/instansi dan Polri untuk menggalakkan latihan pengamanan kontijensi secara berkala. Ekses yang ditimbulkan adalah apabila sesuatu yang dikhawatirkan benar-benar terjadi, satpam tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana harus berbuat. Oleh karena itu Polri harus berupaya mewujudkan pelatihan-pelatihan pengamanan kontijensi agar satpam terbiasa dengan kegiatan pengamanan yang mereka rencanakan sendiri.

Pasal 51
Kekurangan dalam produk yang dibuat ini adalah tidak dicantumkannya SOP dalam bertindak dalam keadaan kontijensi. Dengan demikian apabila SOP masuk dalam isi yang tergabung dengan target kegiatan, personel penanggung jawab, uraian kegiatan dan lain-lain seperti yang tercantum pada pasal ini ayat (1) huruf c maka akan lebih jelas tentang bagaimana menanggapi keadaan kontijensi tersebut. Selanjutnya dalam ayat (1) huruf c jadwal pelaksanaan tidak perlu dicantumkan, karena namanya kontijensi sifatnya adalah insidentil yang tidak mengenal jadwal dan kapan waktu kejadiannya. Intinya pada saat keadaan darurat terjadi, satpam tahu harus berbuat apa dan bagaimana dalam menangani keadaan tersebut.

BAB V
BUJP
Bagian Kesatu
Pembinaan

Pasal 52 ayat (1)
BUJP memang dapat diberdayakan oleh organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah. Namun seyogyanya pemberdayaan BUJP ini disesuaikan dengan kegunaannya. Berarti tidak setiap organisasi dapat menggunakan jasa BUJP, setidaknya harus dilihat provit dari organisasi/perusahaan/instansi/lembaga pemerintah. Harus diatur kembali siapa lembaga yang berhak menggunakan jasa BUJP ini untuk menghindari tumbuhnya perusahaan jasa yang tidak memenuhi standar prosedural pengamanan.

Pasal 52 ayat (2)
BUJP sebagaimana ayat (1) dibina oleh Polri dan wajib mendapatkan izin operasional dari Kapolri berdasarkan rekomendasi dari Polda di tempat badan usaha tersebut beroperasi. Sebagaimana UU No.2 Tahun 2002 pada pasal 15 ayat (2) huruf f memang disebutkan bahwa ”memberi izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan”. Namun perlu diketahui disini bahwa memberi izin operasional bukanlah wewenang dari Polri, namun wewenang dari Departemen Perdagangan dan Pemerintah Daerah. Akte Notaris perusahaan disahkan oleh Departemen Hukum dan HAM, serta izin kerja tenaga asing diserahkan pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Seharusnya telah dibuat MoU antara Polri dengan Departemen terkait mengenai pelaksanaan izin operasional BUJP tersebut. Setelah MoU tadi disepakati, harus diatur kembali melalui Keputusan Kapolri mengenai kewenangan Mabes Polri dan mana yang didelegasikan ke Polda-Polda. Diperlukan beberapa juklak dan juknis dari Mabes Polri sebagai pegangan Polda guna pelaksanaan pembinaan dan pengawasan BUJP.

Bagian Kedua
Penggolongan

Penggolongan jasa pengamanan harus diteliti kembali oleh Polri, apa-apa saja yang dapat digolongkan kedalam jasa pengamanan. Kebanyakan SK yang ada tidak jelas penggolongannya (lihat SK Kapolri Rusmanhadi dan SK Kapolri Sutanto sebagai perbandingannya).

Pasal 53
Penggolongan BUJP yang terdiri dari:
a. Usaha Jasa Konsultasi Keamanan (Security Consultancy);
b. Usaha Jasa Penerapan Peralatan Keamanan (Security Devices);
c. Usaha Jasa Pelatihan Keamanan (Security Training);
d. Usaha Jasa Kawal Angkut Uang dan Barang Berharga (Valuables Security Transport);
e. Usaha Jasa Penyediaan Tenaga Pengamanan (Guard Services);
f. Usaha Jasa Penyediaan Satwa (K9 Services).

Kiranya pada huruf (f) perlu diteliti kembali, apa ada perusahaan yang bergerak di bidang ini. Penyediaan satwa (K9) apakah disediakan satwanya saja atau sekalian dengan pelatihnya (trainer). Amat jarang perusahaan yang mau menyewa satwa karena cost-nya yang dapat melebihi cost apabila menggunakan tenaga manusia.

Pasal 54
Pada ayat (6) bukan hanya menyediakan satwanya saja namun juga menyediakan satwa dan pelatihnya untuk membantu perusahaan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban di lingkungannya.

Pasal 55
Disini belum diatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan apabila BUJP tersebut menyediakan konsultan asing didalamnya. Disini peran Polri untuk mengecek kualifikasinya, berikut dengan persyaratan-persyaratan lain yang terkait dengan tenaga kerja dari luar negeri.

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Pada huruf (a) kualifikasi Gada Utama karena dikendalikan oleh Mabes Polri, harus dituangkan kembali dalam bentuk Keputusan Kapolri mengenai kekhususan dalam kualifikasi tersebut. Termasuk disitu harus dirumuskan siapa lembaga yang berwenang untuk mengawasi pemberian kualifikasi tersebut, apakah Bimmas, Samapta atau Brimob.
Kemudian disini belum diatur mengenai fasilitas pelatihan, tenaga pelatihan, kurikulum dan sebagainya. Hal ini penting untuk tidak sembarangan memberikan izin operasional bagi BUJP yang hanya ingin mengeruk keuntungan saja namun tidak memperhatikan aspek-aspek dalam manajemen sekuriti.

Pasal 58
Pada huruf (b) dikarenakan BUJP merupakan perusahaan swasta, maka untuk menghindarkan kesan anggota Polri merupakan tenaga bayaran, maka ayat ini harus dihapuskan. Teknis pengawalan barang-barang berharga yang diserahkan kepada Dit Samapta sudah diatur dalam juklak atau juknis Polri mengenai hal tersebut.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Kalau memang jasa ini harus diadakan, maka penyedianya harus menyediakan seluruh kegiatan usahanya yaitu menyediakan satwa yang berkemampuan khusus dan mengikutsertakan pawang satwa untuk membantu tugas Satpam. Karena satwa dan pawang satwa merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan mengingat kemampan yang dimiliki oleh keduanya merupakan hasil kolaborasi.

Bagian Ketiga
Kewajiban

Pasal 61
Pada ayat (1) huruf c, mengenai laporan ke Karo Bimmas perlu ditinjau kembali darimana wewenang Karo Bimmas untuk menerima laporan tersebut. Apakah tidak bersinggungan dengan pertelaahan tugas dari Deops maupun Kababinkam mengingat masalah pengamanan ada pada pertelaahan tugas masing-masing. Ini perlu diatur terlebih dahulu melalui Keputusan Kapolri mengenai wewenang tersebut. Kemudian mengingat ada juga BUJP yang tersebar di daerah-daerah, apakah juga Polda diberikan kewenangan untuk langsung menerima laporan tersebut tanpa harus laporan tersebut ditujukan kepada Mabes Polri.
Kemudian, karena BUJP ini tetap harus diawasi pelaksanaan kegiatannya, maka dalam perizinannya harus dicantumkan batas waktu izin operasional BUJP tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan BUJP yang tidak produktif masih beroperasi terus.

Pada ayat (2) selain ke-4 hal tersebut, harus dicantumkan juga pelaksanaan tugas per-kegiatan usaha yang dijalankan. Agar pihak Mabes Polri maupun Polda dapat meneliti apakah perusahaan tersebut masih layak diberikan perpanjangan izin operasional atau tidak. Apabila pelaksanaan tugasnya banyak membantu tugas pokok Polri, maka dapat direkomendasikan untuk diperpanjang izinnya. Apabila tidak, maka Polri dapat merekomendasikan untuk penutupan izin usaha BUJP tersebut.

Bagian Keempat
Surat Rekomendasi dan Surat Izin Operasional Badan Usaha

Surat Rekomendasi
Tata cara memperoleh surat rekomendasi oleh badan usaha jasa pengamanan dalam bentuk perseroan terbatas (PT) yang mencantumkan jasa pengamanan sebagai salah satu bidang usahanya. Surat rekomendasi ini hanya berlaku 6 bulan sejak dikeluarkan, untuk digunakan mengurus Surat Izin Operasional.

Pasal 62
Seharusnya surat permohonan ditujukan kepada Kapolda langsung tidak bersifat U.p. (untuk periksa), dengan argumen Kapolda sebagai Pimpinan Kepolisian Daerah harus mengetahui dengan pasti keberadaan dan perkembangan perusahaan jasa pengamanan di wilayahnya. Kapolda harus bertanggung jawab tentang proses pemeliharaan keamanan dan peta kekuatan Satpam dan BUJP yang ada.
Adapun dalam pelaksanaannya, Kapolda mendelegasikan kewenangannya kepada Karo Binamitra. Kegiatannya, selain melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi, staf ini juga harus melakukan survei lapangan dan melaporkan hasilnya kepada pimpinan. Apabila persyaratan administrasi dan hasil pengecekan lapangan dinyatakan layak, perusahaan itu menjalankan usaha jasa pengamanan. Kemudian Surat Rekomendasi diketahui dan di tandatangani oleh Kapolda atau Wakapolda sebagai pimpinan Kesatuan Polda. Sehingga Kapolda memperoleh gambaran dan mengetahui secara pasti kekuatan Satuan pengamanan dan keberadaan usaha jasa pengamanan di wilayah kerjanya. Dengan demikian, Kapolda pada masa sekarang harus bersedia bekerja dan mengerti tugas yang menjadi prioritas serta mengurangi kegiatan-kegiatan protokoler dan acara seremonial yang berlebihan atau kurang penting bagi organisasi maupun tugas kepolisian.
Permohonan Surat Rekomendasi ini harus disampaikan oleh pemohon secara terperinci dan hanya boleh menyampaikan satu jenis/bidang usaha jasa pengamanan saja, misalnya: Surat Rekomendasi untuk memperoleh Surat Izin bidang Jasa Konsultan keamanan, maka tidak dapat disatukan dengan permohonan bidang lain seperti bidang Jasa Penerapan Keamanan atau bidang Jasa Pelatihan keamanan apalagi 6 bidang jasa disatukan permohonannya sekaligus, itu tidak benar.

Surat Izin Operasional

Pasal 63
Perlu diyakinkan dengan Surat Rekomendasi dari Polda bahwa kegiatan usaha benar-benar belum beroperasi dan bukan bersifat persetujuan usaha yang sudah berjalan. Bila ditemukan, harus diberikan sanksi administrasi dan penghentian kegiatan serta tidak diterbitkan Izin operasional.

Pasal 64
Persyaratan untuk mendapat Surat Izin Operasional, yang umum maupun yang bersifat khusus harus menyatakan kesungguhan dan kesesuaian dengan dengan faktanya. Hal yang harus diperhatikan adalah meyakinkan keberadaan perusahaan tersebut layak dan sungguh-sungguh membuka usaha jasa pengamanan. Harus diwaspadai jangan sampai bidang usaha PT tadi tidak sesuai dengan usaha jasa pengamanan, dengan kata lain hanya sekedar numpang administrasi saja dan bersifat formalitas semata.

Pasal 65
Pada huruf a bahwa permohonan surat izin operasional ditujukan kepada Kapolri U.p. (untuk periksa) Karo Bimmas Polri, juga harus dikaji ulang karena kewenangan Kapolri (Bintang 4) langsung U.p. Karo (bintang satu) melewati Bintang 3 dan bintang 2. Jadi kami berpendapat Karo hanya mengerjakan proses yang diberikan oleh Kapolri/ Wakapolri melalui Deops Kapolri. Sehingga penandatangananpun tidak oleh Karo Bimmas tetapi minimal Deputi Kapolri Bidang Operasi (Deops). Hal ini dimaksudkan untuk pengawasan dan pengendalian oleh Pimpinan.
Hal yang harus menjadi perhatian ditengarai adanya ”kemudahan” membuat izin operasional oleh oknum Biro Binamitra selama ini, misalnya permohonan Surat ijin operasional sekaligus dibuat 6 izin operasional bidang usaha jasa pengamanan. Hal itu tidak benar, karena menunjukan tidak adanya kesungguhan pertanggungjawaban pemberi izin dalam hal ini Polri untuk mengecek langsung kelayakan dan sarana prasarana yang harus dimiliki setiap bidang usaha, misalnya Usaha jasa Penyedia satwa, maka perusahaan jasa ini harus memiliki berbagai jenis satwa/binatang terlatih yang terpelihara dan kandang serta lapangan yang memadai untuk melatih satwa tersebut. Kemudahan-kemudahan ini diberikan, adanya indikasi kolusi atas sejumlah biaya yang serahkan dari pemohon kepada oknum yang menerima berdalih biaya administrasi. Hal ini harus diwaspadai karena apabila pertanggungjawaban keuangan yang diterima merupakan sumber penerimaan keuangan negara bukan pajak PNBP, bila disalahgunakan untuk kepentingan peribadi atau berdalih kepentingan dana operasional unit kerja tertentu, tetap dapat dikategorikan korupsi.

Pasal 66 ayat (1)
Seharusnya langsung ditentukan bahwa wilayah kegiatan dari BUJP ditentukan sesuai wilayah Polda yang bersangkutan sehubungan Surat Rekomendasi diberikan oleh Tingkat Polda. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan, pembinaan teknis dan koordinasi serta pertanggungjawaban.

Pasal 66 ayat (2)
Jangka waktu berlakunya Surat Izin Operasional BUJP sebaiknya tidak hanya satu tahun, tetapi sampai 5 (lima) tahun, baik izin yang baru maupun yang perpanjangan. Pertimbangannya, karena kalau hanya satu tahun sedangkan proses pengajuan Surat rekomendasi saja sudah enam bulan, artinya setelah enam bulan kemudian harus sudah mengajukan permohonan lagi. Hal ini tentunya tidak mencerminkan pelayanan Polri yang baik. Apabila alasannya untuk kontrol, maka dapat dilakukan melalui kewajiban kepolisian, secara rutin atau insidentil melaksanakan pengawasan ke perusahaan BUJP sebagai konsekuensi mengeluarkan izin operasional.

BAB VI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Audit SMP

Pasal 67
Disini tertulis; ”mengatur pelaksanaan audit untuk memastikan penerapan sistem managemen pengamanan dalam rangka pengawasan dan pengendalian”. Seharusnya berbunyi dalam rangka ”pengawasan dan pembinaan”, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Kapolisian No. 2 tahun 2002 pasal 14 ayat (1) huruf f; atau memberikan petunjuk teknis kepolisian pada pengamanan swakarsa, sebagaimana Pasal 15 ayat (2) huruf g, UU No. 2 Tahun 2002.
Pelaksanaan audit SMP meliputi audit kecukupan dokumen, audit kesesuaian dan audit pengawasan, artinya sistem managemen pengamanan dipastikan telah mengikuti ketentuan persyaratan dokumen, administrasi dan perundang-undangan. Audit dilakukan oleh Lembaga Audit Publik Nasional yang independen, dan mendapat penunjukan melalui keputusan Kapolri ayat (7). Menurut kami cukup ditulis dilakukan oleh tim Audit yang ditunjuk oleh keputusan Kapolri, karena pencantuman lembaga publik independen bertentangan atau tidak perlu. Kenyataannya, tim ini tidak akan independen, sebab tim audit memang akan membawa misi kepentingan tugas Polri, tetapi berdasarkan undang-undang untuk kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat secara keseluruhan. Pada ayat (8) bahwa kriteria badan Audit akan diatur dalam petunjuk teknis, Petunjuk teknis tersebut harus rinci dan komprehensif, memuat segala hal ihwal audit, subjek, objek dan metode audit serta etikanya.

Pasal 68
Pada huruf a dan poin b ayat ini tumpang tindih, karena huruf a bagian 3; Polri menunjuk personil yang dilibatkan dalam tim audit. huruf b; Badan Audit menyiapkan personil yang dilibatkan dalam tim audit. Tidak jelas dan tumpang tindih.

Pasal 69
Pada ayat (1) huruf a tidak perlu, karena membingungkan. Seharusnya Personil Polri yang punya kualifikasi auditor atau auditor yang ditunjuk dengan Surat Perintah Kapolri, atau Kapolda untuk tingkat Polda.
Pada ayat (2) terlalu menonjolkan kewenangan Robimmas Polri dalam hal penunjukan tim audit.

Pasal 70
Pelaksanaan audit meliputi pemeriksaan dokumen, pengisian quesioner, pengamatan langsung dan parameter skoring baik penilaian kualitatif juga kuantitatif harus disiapkan dan terencana. Ayat (5) Karobimmas Polri melaporkan seluruh kegiatan audit kepada Kapolri, seharusnya melalui Deops Kapolri atau Wakapolri. Atau ayat ini tidak perlu ada.

Bagian Kedua
Audit BUJP

Pasal 71 – 72
Disebutkan bahwa Polri melakukan pengawasan terhadap BUJP melalui kegiatan audit baik secara berkala maupun insidentil. Kegiatan yang dilaksanakan, meliputi audit kecukupan, audit kesesuaian dan audit pengawasan. Hasilnya dilaporkan oleh Tim audit kepada Karo Bimmas Polri. Apakah tidak sebaiknya dilaporkan kepada Deops Kapolri, karena dalam struktur organisasi Polri, Birobimmas Polri berada di bawah Sdeops Polri. Selain itu, tidak dijelaskan apakah kegiatan-kegiatan audit tersebut dilaksanakan secara berkesinambungan atau tidak. Sebagai contoh setelah audit kecukupan untuk persyaratan administrasi dilakukan kepada BUJP yang akan perpanjangan izin operasional, apakah langsung dilaksanakan audit kesesuaian yang juga dilakukan untuk mendapatkan izin perpanjangan BUJP.

Pasal 73
Pada huruf b, disebutkan bahwa tim audit menyiapkan personel yang dilibatkan dalam tim audit. Menurut kami, kalimat ini agak rancu, seharusnya ....dilibatkan dalam kegiatan audit. Karena sesuai pasal 69 (2) telah dijelaskan bahwa tim audit merupakan anggota yang ditunjuk oleh Polri dan telah mendapat pelatihan teknis audit, telah terdaftar dan tersertifikasi dari Biro Bimmas Polri.

Pasal 74
Pada huruf a – e disebutkan mengenai kewajiban BUJP dalam rangka audit, namun tidak dicantumkan secara eksplisit tentang siapa yang harus menanggung biaya kegiatan audit tersebut. Pada pasal 77 dijelaskan bahwa biaya pelaksanaan audit SMP dibebankan kepada organisasi, perusahaan, atau instansi/lembaga pemerintah yang diaudit. Kurang jelas apakah ini termasuk juga untuk kegiatan audit BUJP.

Pasal 75
Parameter penilaian audit dituangkan secara kualitatif dan kuantitatif, serta ditetapkan dengan petunjuk teknis. Petunjuk teknis ini nantinya harus dijelaskan secara terperinci tentang bagaimana teknis dan kriteria penilaiannya, sehingga dapat memberikan hasil audit yang optimal dan obyektif.

BAB VII
EVALUASI DAN PENILAIAN

Pasal 76 ayat (1)
Disini disebutkan bahwa Evaluasi dan penilaian atas laporan audit SMP dilaksanakan oleh Polri c.q. Birobimmas Polri. Selanjutnya ayat (2) berdasar hasil evaluasi dan penilaian Polri memberikan penghargaan atau tindakan pembinaan sesuai dengan tingkat pencapaian penerapan SMP. Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindakan pembinaan dan bagaimana bentuknya.

Pasal 76 ayat (3)
Ayat yang menjelaskan tentang prosentase pencapaian yang didapat oleh perusahaan dalam kegiatan evaluasi dan penilaian, namun tidak dijelaskan kriteria penilaiannya bagaimana sebuah perusahaan dapat memperoleh prosentase 0 – 59%, 60 – 84%, dan 85 – 100%. Selain itu karena penilaian sangat tergantung dari tim audit, maka mungkin saja hasilnya akan bersifat subyektif, dan memungkinkan adanya kolusi antara tim audit dan perusahaan terkait.

Pasal 76 ayat (4)
Sertifikat penghargaan ditandatangani oleh Kapolri berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Disini kelihatannya jangka waktunya terlalu lama. Suatu perusahaan mendapat sertifikat merupakan jaminan/kepercayaan bahwa perusahaan itu sehat dan bersih. Namun bagaimana bila performa perusahaan menurun, melanggar atau bangkrut sebelum jangka waktu tersebut. Apakah penghargaan secara otomatis ditarik? Selain itu, pemberian plakat emas maupun perak terlalu berlebihan, apalagi bila dibebankan kepada anggaran dinas Polri/APBN.

Pasal 76 ayat (5)
Mengenai mekanisme penilaian untuk audit izin operasional BUJP, yang prosentasenya sama seperti pada ayat (3). Sebaiknya ayat ini dibuat pasal tersendiri, karena membahas hal yang berbeda, walaupun menggunakan prosentase yang sama.

Pasal 77
Menjelaskan bahwa biaya pelaksanaan audit SMP dibebankan kepada organisasi, perusahaan, atau instansi/lembaga pemerintah yang diaudit. Hal ini perlu diketahui dan disosialisasikan dahulu, sehingga tidak akan membebani perusahaan yang akan diaudit.

BAB VIII
SANKSI
Bagian Kesatu
Pelatihan

Pasal 78
Menyebutkan bahwa bagi lembaga pendidikan yang tidak membuat laporan pelaksanaan kegiatan pelatihan, dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis, dan apabila dalam jangka waktu 3 bulan setelah penetapan sanksi peringatan tertulis tidak diindahkan, maka dikenakan sanksi peninjauan kembali terhadap penyelenggaraan pelatihan. Sanksi yang diberikan kurang tegas, apa yang dimaksud dengan peninjauan kembali? Serta tidak memberi pengaruh terhadap instansi bersangkutan, sehingga kegiatan tetap berjalan seperti biasa.
Hal-hal yang harus dilaporkan oleh lembaga pendidikan setiap pelaksanaan pelatihan Satpam meliputi : jumlah dan sumber peserta, sarana dan prasarana, materi dan metode pelatihan, instruktur, dan hasil pelatihan. Pasal ini tidak menyebutkan apakah ketentuan ini berlaku pula apabila yang menyelenggarakan pendidikan satpam adalah lemdik Polri sendiri atau TNI, dan apakah sistem pelaporan dan sanksinya sama seperti lemdik BUJP.

Bagian Kedua
Gam dan atribut

Pasal 79
Menyebutkan tentang beraneka ragam sanksi bagi anggota Satpam yang tidak menggunakan seragam dan atribut sebagaimana telah ditetapkan dalam Perkap ini. Namun bila melihat dalam praktek sehari-hari, tidak dapat dipungkiri bahwa seragam dan atribut satpam sangat bermacam-macam (barongsai) dan belum sesuai dengan Gam Satpam.
Sebelum sanksi-sanksi ini diberlakukan kepada satpam maupun pimpinan satpam (security manager), maka Polri harus introspeksi terlebih dahulu, apakah Polri telah memanggil atau memberikan bimbingan teknis dan informasi bagaimana seharusnya Gam dan atribut Satpam, apakah pihak perusahaan telah memahami secara jelas ketentuan Gam dan atribut yang ditetapkan, serta telah mensosialisasikan peraturan ini. Apabila pihak perusahaan telah mengetahuinya, namun tidak mengindahkan, maka sanksi dapat diterapkan. Dalam penerapannya, harus konsisten dan berani bertindak tegas, karena telah diamanatkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 bahwa hal ini termasuk dalam lingkup tugas dan wewenang Polri.

Bagian Ketiga
Registrasi dan KTA

Pasal 80
Disebutkan bahwa bagi satpam yang terlambat dalam pengurusan KTA, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis, apabila keterlambatan lebih dari satu tahun, maka wajib dilakukan penyegaran pelatihan kembali. Dalam prakteknya, banyak anggota satpam yang terlambat dalam mengurus KTA-nya. Bagi anggota Satpam yang terlibat tindak pidana, maka KTA akan dicabut. Bagi anggota Satpam yang tidak dapat menunjukkan KTA ketika bertugas, dikenakan pembekuan sampai dengan dapat menunjukkan KTA. Bila menggunakan KTA palsu dikenakan ketentuan pidana.
Apabila sanksi-sanksi ini akan diterapkan, maka harus konsisten, atau hanya akan dianggap angin lalu saja. Untuk itu, seluruh anggota Polri yang bertugas di bidang pembinaan Satpam harus memahami ketentuan ini, dan melakukan pemeriksaan secara berkala maupun insidentil. Hal ini disebabkan, penggunaan Gam, atribut, maupun KTA, merupakan tanda pengenal yang memberikan jaminan kepastian bagi masyarakat bahwa dirinya berhadapan dengan petugas resmi.

Bagian Keempat
BUJP

Pasal 81
Dalam pengenaan sanksi ini juga harus ditegaskan mengenai siapa badan yang berhak untuk mencabut izin operasional BUJP tersebut, apakah Polri ataukah Instansi/Departemen lain yang terkait dengan BUJP tersebut. Apabila hal tersebut sudah diadakan kesepakatan antar Departemen, maka Polri berhak untuk menjadi lembaga yang berhak untuk mencabut izin operasional BUJP tersebut.

Pasal 82
Menyebutkan bahwa BUJP yang tidak memenuhi parameter penilaian yang dihasilkan oleh tim audit, maka izin operasionalnya ditangguhkan penerbitannya, dan wajib mengikuti pembinaan sesuai rekomendasi yang ditetapkan tim audit. Perlu penjelasan lebih terperinci tentang bentuk pembinaan yang harus diikuti BUJP, serta jenis rekomendasi yang dikeluarkan oleh tim audit.



BAB IX
KETENTUAN PENUTUP


Dijelaskan bahwa Peraturan Kapolri ini merupakan pedoman bagi penyusunan berbagai standar teknis keamanan, keselamatan, untuk masing-masing organisasi, perusahaan, dan/atau instansi pemerintah/lembaga pemerintah. Agar ketentuan ini dapat dipahami oleh setiap instansi bersangkutan dan tidak terjadi perbedaan dalam penjabarannya, Polri harus memberikan pembinaan teknis dan mensosialisasikannya, selanjutnya melakukan pengawasan dalam pelaksanaannya.